dc.description.abstract | Dalam KHI pada Bab XVII Akibat Putusnya Perkawinan bagian ke satu pasal 149 huruf a berbunyi memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda kecuali bekas istri qobla al dukhul. Dari bunyi pasal diatas dapat dikatakan bahwa pemberian mut’ah wajib diberikan kepada mantan istri dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam KHI. Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan dua syarat, pertama: Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul, kedua: Perceraian itu atas kehendak suami. Dari hal yang demikian yang berbeda dengan hasil putusan hakim Pengadilan Agama Bangil.
Permasalahan penelitian ini Dari Hasil observasi awal bahwa dalam prakteknya, di Pengadilan Agama Bangil tidak semua perkara cerai talak diberikan mut’ah. Ada beberapa perkara yang tidak diberikan mut’ah. Sebagaimana yang telah di paparkan di atas bahwa KHI maupun Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengatur tentang mut’ah bagi mantan istri pasca peceraian. Oleh karena itu berdasarkan paparan di atas penulis merasa perlu mengkaji dan meneliti lebih lanjut apa yang melatar belakangi peniadaan mut’ah dalam perkara cerai talak tersebut.
Peniadaan Mut’ah oleh Hakim Pengadilan Agama Bangil, memiliki keterkaitan dengan teori keadilan John Rawls. Teori keadilaan John Rawls memiliki 3 prinsp yaitu pertama Equal Liberty Of Principle (prinsip kebebasan yang sama), kedua Difference Principle (Prinsip Perbedaan), ketiga Equal Opportunity Principle (Prinsip Persaman Kesempatan).
Kata Kunci: Peniadaan Mut’ah, Cerai Talak, Keadilan Jhon Rawls | en_US |