dc.description.abstract | Manusia diciptakan menjadi makhluk yang mulia diantara makhluk-makhluk lainnya, serta diberi nafsu untuk membentuk suatu keluarga. Wirjono Prodjodikoro mengungkapkan perkawinan tersebut memiliki makna dan tujuan yang sangat baik sebagaimana fitrah seorang manusia yang hidup bermasyarakat bahwa pernikahan merupakan kebutuhan hidup untuk peraturan yang jelas mengenai syarat dan pelaksanaannya (Sanjaya & Faqih, 2017:10).
Tujuan lain dari disyariatkan perkawinan untuk mendapatkan anak keturunan yang sah untuk generasi yang akan datang. Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memilih pasangan suami istri yang baik (agamanya) sehingga dapat melahirkan keturunan (generasi pengganti) sebagaimana yang diharapkan (Jamaluddin, 2016:46).
Oleh karena itu dengan adanya harapan mendapatkan keturunan, pastinya semua orang ingin mendapatkan keturunan yang baik apalagi jika memiliki keturunan yang bernasab mulia dari garis Rasulullah Saw. Sejalan dengan pernyataan tersebut “wanita bernasab Arabiyah, Quraisyiyah, Hasyimiyah atau Muth-thalibiyah tidak bisa diimbangi oleh lelaki bukan bernasab itu. Maksudnya wanita yang berbapak Arab tidak bisa diimbangi oleh lelaki bukan keturunan Arab”. Disini wanita yang terlahir dari keluarga yang memiliki keturunan langsung dari garis Rasulullah tidak boleh dinikahkan dengan seorang laki-laki ynag memiki nasab dari kalangan biasa (bukan garis keturunan Rasulullah Saw). Kecuali apabila laki-laki yang bernasab Arab menikahi wanita yang dari kalangan masyarakat biasa pernikahannya dibolehkan (Zainuddin, 2014:62).
Pernikahan semacam ini biasanya terjadi pada kalangan keluarga habaib, mereka menganggap dan meyakini bahwa kafa’ah memang ada, utamanya tentang kafa’ah nasab yang ada kelanjutannnya di dalam sebuah perkawinan (Pratama, 2020:46).
Maka sangat tidak heran apabila ada orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan orang yang bernasab baik. Buya Yahya menuturkan dalam channel youtube nya Al-Bahjah TV menyebutkan bahwa kafa’ah dimiliki oleh kaum wanita dengan wali (bapak) dan berhak mempertahankan kemuliaannya. Beliau menjelaskan macam-macam kafa’ah diantaranya kafa’ah agama dan kafa’ah nasab, letak kafa’ah tertinggi adalah kafa’ah agama, contohnya “apabila memiliki seorang anak muslimah jangan di nikahkan dengan orang yang kafir”, hal ini termasuk kedalam hal yang tidak sekufu/setara. Selanjutnya kafa’ah tertinggi pada tingkatan kedua adalah kafa’ah nasab, dalam hal ini membahas kafa’ah nasab yang ada pada perkawinan, contohnya terdapat dalam pernikahan syarifah dari keturunan Nabi (Quraisyiyah, Hasyimiyah), mereka memiliki kemuliaan khusus maka wali tersebut berhak mempertahankan putrinya untuk tidak dinikahkan dengan orang yang memiliki nasab yang tidak sama, hal ini sering kita sebut dan kita kenal dengan sebutan “syarifah menikah dengan kalangan bukan sayyid”.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan merupakan kepustakaan (library research). Yang dimaksud dengan library research disampaikan oleh Mahmud ialah merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka (Amalia, 2018:5).
Tujuan penelitian ini diantaranya ada tiga, yang pertama untuk mendeskripsikan konsep kafa’ah nasab menurut hukum islam kaitannya dengan pernikahan syarifah dan kalangan non sayyid, keduanya untuk mendeskripsikan perspektif Imam Malik tentang kafa’ah nasab terhadap pernikahan syarifah dengan kalangan non sayyid, dan yang ketiga untuk mendeskripsikan perspektif Imam Syafi’i tentang kafa’ah nasab terhadap pernikahan syarifah dengan kalangan non sayyid.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama konsep kafa’ah nasab menurut islam tidak ada pembahasannya adanya dalam perkawinan, karena hukum islam hanya menunjukkan adanya perbedaan diri pada manusia tepat pada agamanya, yang mana dilihat dari ketakwaan seseorang bukan dari nasab orang tesebut. Kedua, Perspektif Imam Malik menunjukkan apabila kafa’ah nasab dalam pernikahan syarifah dengan kalangan non sayyid tidak diperhitungkan atau tidak diadakan, karena semua orang sama saja derajatnya terkecuali dalam perihal ketakwaan masing-masing orang. Ketiga, perspektif Imam Syafi’i mengenai kafa’ah nasab terhadap pernikahan syarifah dengan kalangan non sayyid beliau menerapkan kafa’ah ansab tersebut, beliau menyebutkan bahwa kesepadanan dijadikan sebagai acuan terlebih dahulu terkait macamnya, dalam arti bahwa Arab adalah satu macam, dan selain Arab satu macam yang lain.
Kata Kunci : Kafa’ah, Kufu, Syarifah, Sayyid | en_US |