dc.description.abstract | Pada skripsi ini Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan tentang
Kekuatan Pembuktian Saksi De Auditu Dalam Perspektif Hukum Acara Pidana Di
Indonesia. Pilihan tema tersebut dilatar belakangi oleh banyaknya permasalahan
dalam proses peradilan pidana, terutama terkait proses pembuktian dalam sistem
pembuktian. Berdasarkan latar belakang tersebut, karya tulis ini mengangkat
rumusan masalah sebagai berikut; 1. Bagaimana hukum acara pidana mengatur
tentang saksi de auditu? Dan 2. Bagaimana kekuatan mengikat keterangan saksi
de auditu dalam persidangan? Penelitian ini merupakan Jenis Penelitian hukum
normatif, dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan
kasus (case approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Pengumpulan sumber bahan hukum melalui bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Selanjutnya pengumpulan bahan-bahan
hukum dilakukan dengan kegiatan studi kepustakaan dengan cara membaca dan
menelaah buku-buku yang berkaitan dengan masalah penelitian dan dokumentasi,
selanjutnya dilakukan analisis bahan hukum dengan menggunakan analisis
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini, bahwa siapapun yang ingin dihadirkan
oleh terdakwa melalui penasihat hukumnya dan jaksa penuntut umum, di
pengadilan untuk memberikan keterangannya harus diterima dahulu oleh hakim,
walaupun orang yang memberikan keterangannya itu tidak melihat secara
langsung terkait tindak pidana tersebut. Saksi bukan semata-mata siapa yang
melihat, mendengar dan merasakan langsung tindak pidana, melainkan saksi harus
diterima perluasa maknya oleh Mahkamah Konstitusi yaitu relevansi yang
disampaikan oleh saksi itulah yang perlu untuk dipahami. Apapun yang
disampaikan oleh saksi wajib untuk didengarkan secara seksama semasih yang
disampaikan relevan dengan tindak pidana yang terjadi dan itu bisa menjadi bahan
pertimbangan hakim melalui petunjuk saksi tersebut.
Saksi testimonium de auditu memang tidak termasuk dalam definisi saksi, tetapi
setelah Mahkamah Konstitusi memperluas makna saksi maka siapaun yang
berperkara dan siapapun saksi yang dihadirkan harus didengarkan, asalkan yang
disampaikan mempunyai korelasi dengan tindak pidana yang ada. | en_US |