dc.description.abstract | Menurut riset yang ada, perkawinan usia muda dilandasi dari berbagai faktor. Pertama, kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, adat dan tradisi. Begitu pula dengan dampak yang ditimbulkan dari perkawinan usia muda juga sangat beragam, dan yang sudah pasti merugikan diri pelakunya sendiri. Dengan kata lain, pernikahan usia muda lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Untuk mengantisipasi hal-hal yang semacam itu, pemerintah mengeluarkan peraturan baru terkait dengan batas minimal usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 pasal 7 ayat (1) yang berbunyi “perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita telah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun.” Batas usia inilah yang dianggap paling efektif untuk mencegah kejadian-kejadian yang tidak diharapkan. Di Desa Bendosari tidak asing lagi dengan banyaknya remaja yang melakukan perkawinan dini, bahkan mayoritas masyarakat di Desa Bendosari lebih menginginkan anaknya menikah di usia dini daripada melanjutkan pendidikannya. Di Desa Bendosari perkawinan dini menjadi ajang yang memang harus segera dilakuan, jika anaknya tidak segera menikah masyarakat Desa takut anaknya menjadi perawan tua. Terkait dengan itu salah satu pemicu perkawinan dibawah umur adalah faktor ekonomi, dimana ketika sang anak telah lulus sekolah dasar ataupun menengah terkadang orang tua kesusahan mendapatkan uang untuk keperluan melanjutkan pendidikan anak, sehingga beberapa orang tua mengambil jalan pintas yang menurut mereka sebagai salah satu penyelesaian yaitu menikahkan anak tersebut agar kewajiban mereka terlepas dan mengalihkan sepenuhnya tanggung jawab kepada psangan. Adapun faktor lain yang menjadi pemicu perkawinan di bawah umur di Desa Bendosari adalah sudah hamil, paksaan orang tua, dan faktor lainnya.
Dari uraian permasalahan di atas, maka penulis memberikan tiga titik fokus yang akan diteliti. Pertama, bagaimana implementasi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pernikahan dini di Desa Bendosari, serta apa saja dampak dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 terhadap perlindungan perempuan di Desa Bendosari.
Penulis menggunakan jenis penelitian empiris atau lapangan dalam arti pengumpulan data yang ada di lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif (yuridis sosiologis). Pengumpulan datanya dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, Hukum Islam tidak secara mutlak mengatur batas usia perkawinan. Karena dalam Islam asalkan kedua calon mempelai telah masuk kedalam usia aqil baligh, serta telah terpenuhi syarat dan rukun pernikahannya, maka pernikahan tersebut dianggap sah. Akan tetapi baligh saja tidak cukup untuk sebuah tujuan pernikahan yang hakiki. Diperlukan mental dan kedewasaan yang siap untuk mewujudkan cita-cita pernikahan tersebut. Berlakunya Undang-Undang perkawinan No 16 Tahun 2019 tentang usia perkawinan menimbulkan berbagai dampak Negatif dan positif adapun dampak Negatifnya, Masyarakat yang mana mulanya mengetahui usia pernikahan pada anak perempuan yaitu 16 belas tahun dan menjadi 19 tahun adapun masyarakat yang mau melakukan pernikahan di usia 16 tahun terdapat hambatan seperti tidak tercatat dalam akta nikah dan belum sah di mata hukum, juga terdapat melakukan manipulasi umur agar pernikahan dapat tercatatkan. Dan Dampak positifnya masyarakat yang menikah di usia 19 tahun sudah dikatakan dewasa dan matang dalam pemikiranya dan untuk kesehatan dan kehamilan anak dan bisa terhindar dari kematian setelah melahirkan dan bayi prematur. | en_US |