dc.description.abstract | Keluarga adalah suatu kelompok kecil di masyrakat, terdiri dari pasangan suami istri dan beberapa anak. Keluarga menjadi suatu tola ukur karena keluarga merupaan tempat pertama kali mendapatkan pengetahuan, kasih saying dan pembentukan akhlak. Keluarga dikatakan baik apabila dapat menciptakan generasi-generasi yang baik, begitupun sebaliknya. Pendidikan didalam keluarga akan diterapkan kepada masyarakat, secara tidak langsung dapat mempengaruhi pola pikir dan cara bersosialisasi terhadap kehidupan bermasyarakat.
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang mana teknik pengumpulan data utama terdiri atas tiga teknik, yaitu pengamatan, wawancara yang mendalam dan dokumentasi. Menurut Sugiyono (2019:16). Dalam penelitian ini metode pendekatan yang digunakan ialah metode penelitian lapangan Field reseach dan kajian pustaka Library Reseach dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Yang dimaksud dengan pendekatan deskriptif kualitatif adalah penelitian yang menggambarkan tentang suatu masalah atau kejadian. Pendekatan deskriptif digunakan dalam rangka mendeskriptifkan dan menginterpresentasikan apa yang terjadi, pendapat yang sedang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang sedang berkembang. Dan kemudian menghubungkan antara hukum Islam dengan perceraian yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam temuan penelitian ini peneliti mencoba untuk memaparkan hasil analisis yang dapat diambil setelah peneliti melakukan observasi di lapangan. Adapun analisis peneliti mengenai tinjauan hukum Islam terhadap perceraian di luar Pengadilan di Desa Karangbudi Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep, setelah memperoleh teori dan juga penerangan yang peneliti dapat dari berbagai sumber, baik dari sumber yang tertulis maupun tidak tertulis yang merupakan pemaparan dari narasumber. Pertama, bahwa keabsahan perceraian yang dilakukan masyarakat Desa Karangbudi Kecamatan Gapura di luar sidang Pengadilan Agama Kabupaten Sumenep tidak memiliki kekuatan hukum, karena keputusan perceraian tersebut tidak diproses di depan sidang Pengadilan Agama, dan berdasarkan Pasal 39 UU No 1 Tahun 1974, suatu perceraian yang tidak dilakukan di Pengadilan Agama sudah sangat jelas hukumnya, bahwa perceraian tersebut tidak sah. Kedua, bahwa masyarakat Desa Karangbudi Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep merupakan Masyarakat perkampungan yang masih kental dengan nuansa keagamaan, hal itu dapat terlihat pada kegiatan-kegiatan keagamaan yang di lakukan oleh Masyarakat, misalnya pengajian-pengajian di majlis ta’lim, yang di adakan setiap minggunya maupun setiap bulannya, serta kegiatan lainnya seperti marhaban, maulidan yang dilakukan pada siang atau malam hari serta acara ritual keagamaan yang di kemas dalam acara perkawinan. Ketiga, bahwa Masyarakat Desa Karangbudi Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep dalam melaksanakan perkawinan belum sepenuhnya melibatkan Kantor Urusan Agama, terutama mengenai urusan perceraian, penduduk setempat lebih suka melakukan perceraian secara diam-diam atau dengan cara kekeluargaan agar tidak diketehui oleh banyak orang dan tidak dilaporkan ke Kantor Urusan Agama, karena masyarakat setempat menganggap hal itu tidak penting dan hanya buang-buang tenaga, waktu dan biaya saja, bahkan ada juga yang melakukan hal itu karena tidak tahu bahwa masalah perkawinan dan perceraian itu sudah di atur oleh Pengadilan Agama karena sudah ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Akan tetapi ada juga sebagian masyarakat yang melakukan perkawinan mereka secara berulang-ulang tanpa harus mengurus perceraian mereka di depan pengadilan Agama. Keempat, bahwa pandangan masyarakat Desa Karangbudi Kenyamatan Gapura Kabupaten Sumenep mengenai perceraian diluar pengadilan banyak yang berpendapat sah namun ada juga yang tau bahwa dalam Undang-undang tidak sah, tetapi kebanyakan diantaranya masyarakat tetap menganggap sepele dan tidak merasa telah melanggar Peraturan Perundang-undangan yang sedang berlaku di Negara Indonesia saat ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada kasus perceraian di luar sidang Pengadilan Agama Kabupaten Sumenep di Desa Karangbudi Kecamatan Gapura. Dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sebagian masyarakat Desa Karangbudi Kecamatan Gapura masih melakukan perceraian di luar sidang Pengadilan dengan alasan tingginya biaya perkara dan lamanya proses persidangan serta tidak terkontrolnya emosional dari kedua pasangan yang melakukan perceraian di bawah tangan. 2. Ikrar perceraian di luar Pengadilan Agama, dalam tinjauan hukum Islam tetap dianggap sah karena tidak ada perintah dari nash untuk melakukan perceraian di Pengadilan Agama, oleh karena itu pada dasarnya tetap berlaku akibat-akibat hukum perceraian seperti putusnya perkawinan, nafkah iddah dan nafkah anak. Dalam hukum positif di Indonesia kewenangan untuk memproses perceraian telah dilimpahkan sepenuhnya oleh Negara kepada Pengadilan Agama dengan demikian perceraian di luar sidang Pengadilan tidak diakui akibat hukum dari perceraian tersebut. 3. Dampak terjadinya perceraian di luar sidang Pengadilan Agama di Desa Karangbudi Kecamatan Gapura adalah tidak adanya pembagian harta gono-gini yang mempunyai kepastian hukum, mantan suami tidak dapat dituntut memberikan mut’ah yang layak kepada mantan istrinya, baik berupa uang atau benda,. Tidak memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas dalam selama dalam ‘iddah. Tidak melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qobla al dukhul. Dan Tidak dapat dimintakan penetapan pemberian biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai umur 21 tahun. Serta tidak bisa menuntut hak pengasuhan terhadap anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya.
Kata Kunci : Hukum Islam, Perceraian, Sidang, Pengadilan Agama | en_US |