dc.description.abstract | Batas usia minimal perkawinan memang menimbulkan pro-kontra di
kalangan masyarakat. Dalam dunia medis, pada usia 16 tahun seorang wanita
sedang mengalami masa pubertas, yaitu masa peralihan dari anak-anak menjadi
dewasa. Pada usia 16 tahun seorang wanita sebenarnya belum siap fisik dan
mentalnya untuk menjadi ibu rumah tangga. Namun baru-baru ini DPR
mengesahkan revisi UU Perkawinan dan mengubah batas minimal menikah yaitu
baik laki-laki dan perempuan samasama harus sudah menginjak usia 19 tahun.
Sebelumnya, minimal menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16
tahun.
Penelitian ini berusaha memahami dan menganalisa tentang perubahan
batas usia dalam perkawinan perspektif teori maṣlaḥah Sa’īd Ramaḍān Al-Būṭi
dengan fokus kajiannya mencakup: 1) Pandangan hukum Islam tentang batas usia
dalam perkawinan. 2) Makna perubahan batas usia dalam perkawinan menurut
hukum Islam dan hukum positif. 3) Perubahan batas usia dalam perkawinan
menurut teori maṣlaḥah Saīd Ramaḍān al-Būṭi.
Penelitian yang digunakan berjenis penelitian kepustakaan dengan metode
penelitian kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini sumber data berasal dari
sumber data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumen. Dalam penelitian ini,
menggunakan pola pikir deduktif yaitu memaparkan teori dari penelitian. Dari
hasil penelitian tersebut menunjukkan Pada prinsipnya Islam tidak memberikan
batasan pasti berapa umur yang pantas atau umur ideal bagi seseorang untuk
melakukan pernikahan. Substansi makna yang terkandung dalam Pasal 7 UU No,
16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yakni perbaikan norma dengan menaikkan batas minimal umur
perkawinan bagi wanita. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya
untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan
yang sehat dan berkualitas. Perspektif teori maṣlaḥah Sa‟īd Ramaḍān al-Būṭi
menunjukkan bahwa perbedaan batas usia minimal perkawinan bagi laki-laki dan
perempuan dalam Pasal 7 UU No. 16 Tahun 2019 merupakan suatu kemaslahatan,
karenatelah terpenuhinya lima syarat sesuatu dapat dinilai sebagai maṣlaḥah
hakiki, yakni maṣlaḥah harus berada dalam ruang lingkup tujuan syariat tidak
bertentangan dengan Al-Qur‟an, tidak bertentangan dengan Sunnah, tidak
bertentangan dengan Qiyas, serta tidak bertentangan dengan maṣlaḥah yang lebih
urgen. | en_US |