Show simple item record

dc.contributor.authorFajrianto, Fajrianto
dc.date.accessioned2024-06-06T01:46:39Z
dc.date.available2024-06-06T01:46:39Z
dc.date.issued2023-12-16
dc.identifier.urihttp://repository.unisma.ac.id/handle/123456789/9672
dc.description.abstractConcrete review adalah mekanisme pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi yang dasar pengujiannya diajukan oleh hakim pengadilan biasa (pengadilan diluar Mahkamah Konstitusi) manakala meragukan konstitusionalitas suatu undang-undang yang akan diterapkan dalam kasus konkret yang sedang ditangani di pengadilan. Saat undang-undang tersebut diuji, maka pemeriksaan kasus konkretnya di pengadilan biasa harus di hentikan atau ditunda sampai adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi. Concrete review telah banyak dilembagakan dalam sistem pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi diberbagai negara di dunia, seperti di Austria, Jerman, Kroasia, Hungaria, Turki dan lain sebagainya. Namun, mekanisme concrete review belum diakomodir dalam sistem pengujian undang undang di Indonesia. Sebab yang diberikan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi Indonesia hanyalah pihak yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan suatu undang-undang. Dengan demikian, hakim pengadilan diluar Mahkamah Konstitusi Indonesia manakala meragukan konstitusionalitas suatu undang undang yang akan diterapkan dalam kasus konkret yang sedang ditanganinya di pengadilan tentu saja tidak dapat mengajukan permohonan pengujian undang undang, sebab hakim tersebut tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh keberlakuan suatu undang-undang. Padahal, pelembagaan concrete review di Indonesia sangat penting. Dalam rangka menegakkan supremasi konstitusi dan mencegah penerapan undang-undang yang inkonstitusional kepada warga negara yang sedang menjalani pemeriksaan di pengadilan biasa. Berdasarkan latar belakang tersebut, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah: 1. Bagaimana pengaturan concrete review di Austria, Jerman dan Kroasia? 2. Bagaimana formulasi pengaturan concrete review di Indonesia? Pengaturan concrete review di Austria, Jerman dan Kroasia, secara garis besar adalah sama. Mekanisme pengujian konstitusional concrete review di negara-negara tersebut diawali dengan permohonan pengujian konstitusional yang diajukan oleh hakim dari pengadilan biasa (pengadilan selain Mahkamah Konstitusi) kepada Mahkamah Konstitusi, manakala hakim yang bersangkutan dalam mengadili perkara ragu-ragu atas konstitusionalitas suatu undang-undang yang akan diterapkan dalam kasus tersebut. Sejak diajukannya concrete review maka persidangan harus dihentikan untuk sementara sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Jika Mahkamah Konstitusi memutus bahwa undang undang tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar, maka hakim pengadilan biasa tidak boleh menerapkan undang-undang tersebut dalam perkara konkretnya dipengadilan. Sebaliknya, jika undang-undang tersebut dinyatakan tidak bertentangan dengan undang-undang dasar, maka hakim pengadilan biasa dapat melanjutkan proses litigasinya dengan tetap menggunakan undang-undang yang sebelumnya diuji di Mahkamah Konstitusi. Dalam concrete review, hakim yang mengajukan permohonan mampu menjelaskan dan meyakinkan setidak tidaknya bahwa: Pertama, putusannya benar-benar bergantung pada norma hukum yang dimohonkan pengujiannya; Kedua, kejelasan perihal norma konstitusi mana yang dilanggar oleh norma hukum tersebut. Meski memiliki banyak kesamaan, pengaturan concrete review di 3 (tiga) negara tersebut juga memiliki beberapa perbedaan, antara lain yaitu: Pertama, ada yang mengatur mekanisme concrete review di dalam Konstitusinya seperti di Austria dan Jerman, dan ada juga yang mengaturnya di dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi seperti Kroasia. Kedua, terdapat 2 (dua) model legal standing hakim yang berhak mengajukan concrete review. Ada yang menggunakan model terdesentralisasi (Decentralized Model) atau semua pengadilan biasa baik tingkat pertama maupun ditingkat terakhir berhak mengajukan concrete review seperti yang praktikkan di Jerman dan Austria. Ada juga yang menggunakan model tersentral kepada Mahkamah Agung (Centralize Model) seperti yang dianut oleh Kroasia. Dalam konteks rencana penerapan concrete review di Indonesia, pelembagaan concrete review di Indonesia perlu melalui perubahan terhadap UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan UUD NRI 1945 saat ini tidak secara eksplisit menentukan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara concrete review atau tidak. Selain itu, dengan mengatur mekanisme concrete review melalui perubahan terhadap UUD NRI 1945, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus concrete review akan semakin kuat karena miliki pijakan dan legitimasi konstitusional. Selain hal diatas, concrete review dengan decentralized model seperti yang diterapkan di Austria dan Jerman adalah model yang direkomendasikan untuk diterapkan di Indonesia. Dengan menerapkan decentralized model, maka perlindungan hak-hak konstitusional warga negara yang sedang menjalani proses litigasi di pengadilan akan semakin luas, karena semua hakim pengadilan diluar Mahkamah Konstitusi, baik hakim Mahkamah Agung dan pengadilan dibawahnya memiliki legal standing untuk mengajukan concrete review manakala ia meragukan konstitusionalitas undang-undang yang akan diterapkan dalam kasus konkret yang sedang ditangani. Selain itu, hal demikian juga akan memperkuat fungsi check and balences kekuasaan yudikatif terhadap undang-undang yang dibentuk oleh kekuasaan eksekutif dan legislatif.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherUniversitas Islam Malangen_US
dc.subjectConcrete Reviewen_US
dc.subjectPengujian Undang-Undangen_US
dc.titleConcrete Review: Perbandingan Austria, Jerman dan Kroasia Serta Formulasi Ideal Pengaturannya di Indonesiaen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record