dc.description.abstract | Concrete review adalah mekanisme pengujian undang-undang oleh
Mahkamah Konstitusi yang dasar pengujiannya diajukan oleh hakim pengadilan
biasa (pengadilan diluar Mahkamah Konstitusi) manakala meragukan
konstitusionalitas suatu undang-undang yang akan diterapkan dalam kasus
konkret yang sedang ditangani di pengadilan. Saat undang-undang tersebut diuji,
maka pemeriksaan kasus konkretnya di pengadilan biasa harus di hentikan atau
ditunda sampai adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Concrete review telah banyak dilembagakan dalam sistem pengujian
undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi diberbagai negara di dunia, seperti di
Austria, Jerman, Kroasia, Hungaria, Turki dan lain sebagainya. Namun,
mekanisme concrete review belum diakomodir dalam sistem pengujian undang undang di Indonesia. Sebab yang diberikan legal standing untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi Indonesia
hanyalah pihak yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan suatu
undang-undang. Dengan demikian, hakim pengadilan diluar Mahkamah
Konstitusi Indonesia manakala meragukan konstitusionalitas suatu undang undang yang akan diterapkan dalam kasus konkret yang sedang ditanganinya di
pengadilan tentu saja tidak dapat mengajukan permohonan pengujian undang undang, sebab hakim tersebut tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh
keberlakuan suatu undang-undang. Padahal, pelembagaan concrete review di
Indonesia sangat penting. Dalam rangka menegakkan supremasi konstitusi dan
mencegah penerapan undang-undang yang inkonstitusional kepada warga negara
yang sedang menjalani pemeriksaan di pengadilan biasa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, karya tulis ini mengangkat rumusan
masalah: 1. Bagaimana pengaturan concrete review di Austria, Jerman dan
Kroasia? 2. Bagaimana formulasi pengaturan concrete review di Indonesia?
Pengaturan concrete review di Austria, Jerman dan Kroasia, secara garis
besar adalah sama. Mekanisme pengujian konstitusional concrete review di
negara-negara tersebut diawali dengan permohonan pengujian konstitusional yang
diajukan oleh hakim dari pengadilan biasa (pengadilan selain Mahkamah
Konstitusi) kepada Mahkamah Konstitusi, manakala hakim yang bersangkutan
dalam mengadili perkara ragu-ragu atas konstitusionalitas suatu undang-undang
yang akan diterapkan dalam kasus tersebut. Sejak diajukannya concrete review
maka persidangan harus dihentikan untuk sementara sampai adanya putusan
Mahkamah Konstitusi. Jika Mahkamah Konstitusi memutus bahwa undang undang tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar, maka hakim
pengadilan biasa tidak boleh menerapkan undang-undang tersebut dalam perkara konkretnya dipengadilan. Sebaliknya, jika undang-undang tersebut dinyatakan
tidak bertentangan dengan undang-undang dasar, maka hakim pengadilan biasa
dapat melanjutkan proses litigasinya dengan tetap menggunakan undang-undang
yang sebelumnya diuji di Mahkamah Konstitusi. Dalam concrete review, hakim
yang mengajukan permohonan mampu menjelaskan dan meyakinkan setidak tidaknya bahwa: Pertama, putusannya benar-benar bergantung pada norma
hukum yang dimohonkan pengujiannya; Kedua, kejelasan perihal norma
konstitusi mana yang dilanggar oleh norma hukum tersebut.
Meski memiliki banyak kesamaan, pengaturan concrete review di 3 (tiga)
negara tersebut juga memiliki beberapa perbedaan, antara lain yaitu: Pertama, ada
yang mengatur mekanisme concrete review di dalam Konstitusinya seperti di
Austria dan Jerman, dan ada juga yang mengaturnya di dalam Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi seperti Kroasia. Kedua, terdapat 2 (dua) model
legal standing hakim yang berhak mengajukan concrete review. Ada yang
menggunakan model terdesentralisasi (Decentralized Model) atau semua
pengadilan biasa baik tingkat pertama maupun ditingkat terakhir berhak
mengajukan concrete review seperti yang praktikkan di Jerman dan Austria. Ada
juga yang menggunakan model tersentral kepada Mahkamah Agung (Centralize
Model) seperti yang dianut oleh Kroasia.
Dalam konteks rencana penerapan concrete review di Indonesia,
pelembagaan concrete review di Indonesia perlu melalui perubahan terhadap
UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan UUD NRI 1945 saat ini tidak secara
eksplisit menentukan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara
concrete review atau tidak. Selain itu, dengan mengatur mekanisme concrete
review melalui perubahan terhadap UUD NRI 1945, maka kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam memutus concrete review akan semakin kuat karena
miliki pijakan dan legitimasi konstitusional.
Selain hal diatas, concrete review dengan decentralized model seperti yang
diterapkan di Austria dan Jerman adalah model yang direkomendasikan untuk
diterapkan di Indonesia. Dengan menerapkan decentralized model, maka
perlindungan hak-hak konstitusional warga negara yang sedang menjalani proses
litigasi di pengadilan akan semakin luas, karena semua hakim pengadilan diluar
Mahkamah Konstitusi, baik hakim Mahkamah Agung dan pengadilan dibawahnya
memiliki legal standing untuk mengajukan concrete review manakala ia
meragukan konstitusionalitas undang-undang yang akan diterapkan dalam kasus
konkret yang sedang ditangani. Selain itu, hal demikian juga akan memperkuat
fungsi check and balences kekuasaan yudikatif terhadap undang-undang yang
dibentuk oleh kekuasaan eksekutif dan legislatif. | en_US |