dc.description.abstract | Putusan Hakim seringkali memberikan perbedaan hukuman untuk
kejahatan yang sama karena pidana positif Indonesia menggunakan sistem
alternatif. Selain itu juga tidak terdapat pedoman pemberian hukuman yang
bersifat umum pada KUHP Serta adanya sistem pidana minimum dan
maksimum umum serta maksimal khusus untuk tiap-tiap kejahatan dapat
menyebabkan adanya disparitas pidana termasuk dalam tindak pidana
persetubuhan terhadap anak di bawah umur. Adanya disparitas pidana
tersebut dapat memberikan akibat yang cukup fatal jika dihubungkan
terhadap correction administration. Pelaku tindak kriminal yang sudah
diberikan hukuman tersebut akan membandingkan hukuman yang
diberikan terhadapnya dengan terpidana lainnya dan jika terjadi disparitas
pidana, pelaku tersebut akan menganggap bahwasanya dirinya merupakan
korban dari penegakan hukum yang tebang pilih
Fokus penelitian ini yaitu Mengapa terjadi disparitas pidana dalam
Putusan Mahkamah Agung terhadap tindak pidana persetubuhan terhadap
anak di bawah umur? dan Bagaimana upaya untuk mengurangi adanya
disparitas pidana terhadap tindak pidana persetubuhan terhadap anak di
bawah umur? Peneliti memakai metode yuridis normatif dengan pendekatan
yuridis deskriptif dengan menggunakan data primer dan data sekunder
yang mana dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan studi dokumen
dianalisis dengan seleksi data, interpretasi data, penyusunan data untuk
penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) Bahwa terjadi disparitas
pidana Putusan Hakim MA No.2184K/Pid.Sus/2022, yang menolak
Permohonan Kasasi sehingga terdakwa divonis berdasarkan putusan
Pengadilan Tinggi Surabaya No.1375/PID.SUS/2021/PTSBY dengan pidana
penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp.30.000.000,00 dengan Putusan MA
No. 2199K /Pid.Sus/2022 MA yang menolak Permohonan Kasasi dengan
memperbaiki putusan banding No.1334/PID.SUS/2021/PTSBY yang
menguatkan Putusan PN Sumenep No.169/Pid.Sus/2021/PNSmp sehingga terdakwa divonis hukuman penjara 2 tahun dan denda sebesar Rp.
20.000.000,00. 2) Penyebab terjadinya disparitas pidana yaitu karena faktor
hukum sebat tidak memuat pedoman pemberian pidana yang berisikan
asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana
dimana yang ada hanyalah aturan pemberian pidana sehingga tidak ada
standar pemidanaannya dan faktor hakim yang mencakup sifat internal dan
sifat eksternal yang sulit untuk dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai
atribut seseorang yang disebut sebagai (human equation) atau personality
of the judge” dalam arti luas yang menyangkut pengaruh-pengaruh latar
belakang social, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku
sosial. 3) Upaya meminimalisir disparitas yaitu menciptakan pedoman
pemberian pidana. Adapun saran dari penulis yaitu 1) Perlunya
menciptakan suatu pedoman pemberian pidana sehingga memungkinkan
bagi hakim untuk memperhitungkan seluruh fakta dari kejadian-kejadian,
yaitu dengan berat ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, kejelasan
ukuran alat bukti serta keadaan pelaku saat perbuatan pidana itu dilakukan.
2) Pembentukan lembaga semacam yang terdapat di Amerika Serikat, yakni
di Eastern District of Michigan yang disebut Sentencing Council. Hakim yang
sedang mengadili perkara dan mempunyai tanggung jawab untuk
menjatuhkan pidana dalam suatu kasus dapat berkonsultasi kepada kawan kawannya di dalam lembaga ini. 3) Menciptakan seleksi dan pelatihan bagi
para hakim yang dapat mempersiapkan hakim dengan memberikan
informasi tentang masalah-masalah pernidanaan dengan segala aspeknya
baik yang menyangkut aspek filosofi pemidanaan, obyek pemidanaan dan
bagaimana untuk menjadi hakim yang sukses serta diciptakannya kesatuan
wawasan dari para penegak hukum dalam arti luas (termasuk masyarakat),
terhadap aliran hukum pidana yang kita anut dan tujuan pemidanaan dalam
hukum positif. | en_US |