dc.description.abstract | Surat Edaran Mahkamah Agung diterbitkan sebab adanya berbagai macam persoalan, dengan adanya fenomena yang terjadi dalam masyarakat karena kurangnya modal pendidikan untuk memahami serta mempelajari hukum dan Undang-Undang menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mengerti serta tidak mentaati hukum. Pada tahun 2020 terdapat 1.030 data permohonan izin poligami di seluruh Indonesia, hal ini membuktikan masih maraknya masyarakat Indonesia yang melakukan praktik pernikahan poligami
Dari latar belakang diatas terdapat tiga rumusan masalah yang dapat peneliti rumuskan yaitu 1. bagaimana mekanisme poligami siri, dan isbat nikah di Indonesia, 2. bagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 dalam mengatur isbat nikah poligami siri dan permohonan asal-usul anak, 3. bagaimana kepastian hukum isbat nikah poligami siri dan status anak pasca berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018.”
Menurut Gustav Radbruch “teori kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum dan upaya untuk mewujudkan keadilan.” Kepastian hukum memiliki wujud yang nyata terkait pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa orang yang melakukannya. Dengan kepastian hukum setiap individu akan dapat memperkirakan apa yang akan dialami jika orang terebut melakukan sesuatu tindakan hukum tertentu.
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian pada beragam data sesuai dengan objek penelitian yang meliputi data primer tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, Putusan MK no 46/PUU-VIII/2010, Pasal 5 sampai Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 terkait Perlindungan anak yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014,” dan juga data-data sekunder yang terdiri dari buku- buku, skripsi, jurnal, dan lain-lain yang berkaitan dengan isbat nikah. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian normatif yuridis yaitu penelitian pada data-data tentang isbat nikah poligami siri, dan data lainnya yang berhubungan dengan isbat nikah dengan tujuan menemukan maksud dan tujuan adanya kebijakan tersebut, kemudian data dianalisis menggunakan deskripsi analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan tiga kesimpulan Pertama, Poligami harus ijin Pengadilan dengan memenuhi aturan sesuai “Pasal 4 dan 5 UU Nomor 1 tahun 1974.” Nikah siri atau pernikahan yang tidak dicatatkan tidak sesuai dengan “Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 1974” karena pernikahan dikatakan sah jika dicatatkan di KUA bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi NonIslam. Dalam “Pasal 7 Ayat 3 terkait isbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan terbatas dengan perkawinan untuk menyelesaikan perceraian, hilangnya akta nikah, adanya perkawinan yang sudah terjadi sebelum adanya Undang-Undang perkawinan Tahun 1974,” dan mereka yang perkawinannya tidak memiliki halangan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kedua, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 dalam menyikapi isbat nikah poligami siri dan permohonan asal usul anak termasuk dalam instrument yang bertujuan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak, sebab SEMA ini juga hadir untuk menyikapi fenomen-fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang terkait dengan poligami siri. Ketiga, Kepastian hukum isbat nikah poligami siri dan permohonan asal-usul anak dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 sudah sesuai dengan “Pasal 2 Ayat 1, dan 2 serta Pasal 3 Ayat 1 tahun 1974 Undang-Undang Perkawinan” untuk tidak mengisbatkan poligami siri sebab pernikahan tersebut melanggar Undang-Undang dan untuk permohonan asal-usul anak tetap bisa diajukan permohonan asal-usulnya tanpa mengisbatkan pernikahan orang tuanya karena hak-hak anak harus tetap dipenuhi sesuai “Pasal 23 Tahun 2002 dan Putusan MK Nomor 46 tahun 2010.”
Kata Kunci: Kepastian Hukum, Isbat Nikah, Poligami Siri, SEMA, Asal-usul anak | en_US |