Talak Qobla Dukhul Perspektif Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i (Studi Teks Kitab Fiqh Ala Madzahib Al Arba’ah).
Abstract
Pernikahan adalah salah suatu akad yang sangat penting dan mulia dalam agama islam. Pernikahan adalah akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial yang sakral. Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup dan regenerasi manusia sebagaimana tujuan perkawinan sendiri yaitu membentuk keluarga sakinah. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada dasarnya untuk mencapai keluarga yang sakinah mawaddah warohmah diperlukan kasih sayang yang mendalam antara suami dan istri sehingga tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan seperti salah satunya adalah perceraian. Diantara jenis-jenis perceraian adalah dalam keadaan suami dan istri yang belum melakukan hubungan badan layaknya suami istri pada umumnya atau dalam Islam dikenal dengan istilah talak qobla dukhul. Talak qobla dukhul ialah perceraian yang terjadi saat suami dan istri belum melakukan hubungan sebagaimana layaknya hubungan suami istri pada umumnya.
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Hak-hak istri merupakan kewajiban bagi suami sedangkan kewajiban suami merupakan hak istri. Hak istri ialah mendapatkan nafkah baik lahir maupun batin dari seorang suami selama istri tidak melakukan kemaksiatan yang membuat ia tidak berhak untuk mendapat nafkah lagi dari suami kemudian kewajiban istri ialah taat pada perintah dan larangan suami selama yang diperintahkan tersebut merupakan hal-hal baik menurut agama Islam. Adapun hak suami diantaranya adalah dukhul yakni melakukan hubungan badan dengan istri yang telah sah menikah dengannya baik secara agama maupun negara. Adapun jika istri menolak untuk melaksanakan kewajiban tersebut kepada suaminya maka suami boleh untuk tidak memberikan hak nafkah kepada istri nya bahkan suami bisa menceraikannya ketika dirasa tidak ada solusi lain bagi sepasang suami istri tersebut.
Dengan paparan beberapa permasalahan berikut penulis merumuskan fokus penelitian yang ditujukan pada akibat hukum yang ditimbulkan oleh pasangan suami istri yang bercerai dalam keadaan istri qobla dukhul yakni pada nafkah serta masa iddah pada istri yang diceraikan dalam keadaan qobla dukhul. Hal ini bertujuan untuk memberikan wawasan serta pengetahuan kepada pasangan suami istri yang belum mengetahui tentang ketentuan dan akibat hukum talak qobla dukhul khususnya menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu hanifah yang terdapat dalam berbagai karya ilmiah para ulama’ diantaranya adalah kitab fiqh ala madzahib al arba’ah.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kajian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber-sumber kepustakaan khususnya mengenai ketentuan-ketentuan dan akibat hukum dari talak qobla dukhul. Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah studi teks yaitu dengan mengkaji teks berupa karya ilmiyah dengan judul Kitabul Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah yang ditulis oleh Abdurrahman al Jaziri dan berbagai sumber kajian lainnya baik berupa kitab klasik karya para ulama’ atau literatur lainnya yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh penulis. Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif . Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder.
Berdasarkan studi kepustakaan yang telah dilakukan oleh penulis maka hasil penelitian yang didapat adalah bahwa Imam Syafi’i tidak mewajibkan pada suami yang menceraikan istrinya dalam keadaan qobla dukhul untuk memberinya nafkah. Hal ini sejalan dengan tidak diwajibkannya masa iddah pada istri yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan qobla dukhul begitupun istri yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan qobla dukhul namun sudah di khalwat maka ia tetap tidak berhak menjalani masa iddah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa istri yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan qobla dukhul hanya berhak atas mut’ah sebagai hadiah untuk menghibur dirinya agar tidak berlarut dalam kesedihan pasca perceraian tersebut.
Hasil penelitian tentang fokus permasalahan kedua adalah mengenai ketentuan talak qobla dukhul menurut Imam Abu hanifah bahwa suami tidak wajib memberikan nafkah atas istri yang diceraikan oleh dalam keadaan qobla dukhul selama ia berada dalam masa iddah namun ia hanya berhak atas mut’ah sebagai hadiah terakhir untuknya. Istri yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan qobla dukhul tidak berhak menjalani masa iddah menurut Imam Abu hanifah namun jika ia diceraikan dalam keadaan qobla dukhul tetapi sudah di khalwat maka ia berhak menjalani iddah karena menurut Imam Abu Hanifah khalwat mempunyai akibat hukum yang sama dalam permasalahan talak qobla dukhul yakni mewajibkan iddah atas perempuan yang diceraikan dalam keadaan qobla dukhul.
Kata Kunci : Talak Qobla Dukhul, Nafkah, Masa Iddah.