Tindakan Represif Aparat Kepolisian Republik Indonesia Dalam Menghadapi Gelombang Aksi Demonstrasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
Abstract
Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan Tindakan Represif Aparat Kepolisian Republik Indonesia dalam Menghadapi Gelombang Demonstrasi Massa Aksi Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum. Pilihan judul tersebut dilatarbelakangi oleh aksi demonstrasi massa yang kerap kali oleh pihak Kepolisian selaku aparat memilih untuk dilakukan tindakan represif. Padahal kegiatan demonstrasi sejatinya merupakan kegiatan penyampaian pendapat yang oleh Undang-Undang dijamin pelaksanaannya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, skripsi ini mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana tinjauan yuridis mengenai kewenangan Kepolisian terhadap demonstrasi massa aksi di Indonesia? 2) Bagaimana syarat bagi pihak Kepolisian dalam mengambil tindakan represif terhadap demonstrasi massa aksi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998? 3) Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi demonstran yang melakukan demonstrasi massa aksi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998?.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang mana pada hakikatnya mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang.
Hasil penelitian ini diperoleh bahwa, 1) Tinjauan yuridis mengenai kewenangan Kepolisian terhadap demonstrasi massa aksi di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 antara lain adalah menerima pemberitahuan secara tertulis dari pihak yang akan melakukan demonstrasi, melakukan pengamanan dengan menjamin keamanan demonstran maupun masyarakat sekitar pada saat berlangsungnya demonstrasi. Dalam penyampaian demonstrasi massa aksi menurut Perkapolri Nomor 7 tahun 2012 disebutkan mengenai pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara (demonstran), dimana aparatur pemerintah (dalam hal ini Polri) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan menyelenggarakan pengamanan; 2) Syarat bagi pihak kepolisian dalam mengambil tindakan represif terhadap demonstrasi massa aksi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998, bahwa Kepolisian diberikan kewenangan untuk mengatur, menetapkan, serta memberikan pengamanan dalam kegiatan demonstrasi. Hal-hal yang diatur oleh Kepolisian tersebut berkenaan dengan persiapan pra demonstrasi, pada saat demonstrasi serta pasca demonstrasi. Syarat bagi Kepolisian untuk melakukan tindakan represif dapat memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (3) Perkapolri No. 7 tahun 2012 disebutkan bahwa terhadap penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan dengan cara melanggar hukum dapat dilakukan tindakan yakni: upaya persuasif; pemberian peringatan oleh aparat terhadap peserta yang melanggar hukum; pemberian peringatan kepada penanggung jawab pelaksanaan demonstrasi yang melakukan tindak pidana; penghentian kegiatan demonstrasi yang melanggar hukum; pembubaran massa; penangkapan pelaku pelanggar hukum dan penahanan bila diperlukan; penggeledahan dan penyitaan barang bukti; tindakan kepolisian lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan; selanjutnya 3) Kebebasan menyampaikan pendapat melalui demonstrasi atau unjuk rasa merupakan hak setiap warga negara Indonesia yang dijamin dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan sebagai bentuk jaminan dalam perlindungan hukum ini terlihat melalui Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (5) UUD tahun 1945, serta adanya jaminan melalui Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 yang menyebutkan bahwa: “barangsiapa siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”.