dc.description.abstract | Di Indonesia perkembangan penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan terlarang semakin hari semakin marak dan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Korban penyalahgunaan ini tidak hanya orang-orang biasa bahkan sampai pada kalangan pejabat, selebritis, pria maupun wanita, dewasa maupun anak-anak. Didalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Rehabilitasi adalah program untuk membantu memulihkan orang yang memiliki penyakit kronis baik dari fisik ataupun psikologisnya. Sesuai dengan amanat Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika memiliki hak untuk mendapatkan rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Pelaksanaan rehabilitasi sendiri tidak terlepas dari masalah pembiayaan. Permasalahan disini penulis masih belum tahu ada atau tidak pembatasan berapa kali negara harus menanggung seseorang untuk di rehabilitasi. Karena selama ini negara terus yang harus menanggung biaya, memang negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Dalam hal ini mengenai rehabilitasi juga belum jelas pengaturannya tentang bagaimana pembatasan pembiayaan terhadap penyalahgunaan narkotika yang ditanggung oleh negara untuk direhabilitasi. Permasalahan penelitian ini meliputi pengaturan batasan pembiayaan rehabilitasi terhadap narapidana residivis penyalahgunaan narkotika serta untuk mengetahui pembatasan pembiayaan rehabilitasi terhadap narapidana residivis penyalahgunaan narkotika. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dimana penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti beberapa pasal dalam Undang-undang Narkotika yang berkenaan dengan pembatasan pembiayaan rehabilitasi terhadap narapidana residivis penyalahgunaan narkotika. Hasil penelitian ini adalah: Pertama, pengaturan batasan pembiayaan rehabilitasi terhadap narapidana residivis penyalahgunaan narkotika yaitu masih belum jelas maka terhadap penegakannya juga berimbas atau mengakibatkan para penegak hukum tidak bisa asal menjatuhkan suatu vonis kepada seseorang tanpa aturan yang jelas karena ditakutkan terjadinya kesalahan dalam penegakan. Penegakan hukum juga dapat memudahkan dalam pemilahan dan kepastian untuk menjatuhkan apakah residivis diberikan hukuman atau tindakan rehabilitasi, maka akhirnya penulis membuat sebuah batasan yang jelas untuk digunakan para penegak hukum agar dikemudian hari tidak menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Sebab itu diperlukan adanya aturan yang jelas mengenai tanggungan biaya yang harus dibebankan pada pemerintah baik itu merevisi Pasal 54, 55 dan Pasal 103 Undang-undang narkotika atau membentuk pengaturan khusus secara spesifik mengenai pembatasan pembiayaan rehabilitasi. Kedua, pembatasan pembiayaan rehabilitasi terhadap narapidana residivis penyalahgunaan narkotika sementara ini didalam pasal 54, 55 dan pasal 103 Undang-undang Narkotika tidak ada mengatur mengenai berapa kali negara harus menanggung seseorang untuk direhabilitasi karena mengenai pembiayaan itu sudah dibebankan kepada Pemerintah, sebab korban penyalahgunaan narkotika, baik orang itu sebagai residivis yang artinya orang yang pernah dihukum melakukan tindak pidana yang serupa, tetap pemerintah berkewajiban untuk menanggung semua biaya tersebut. Untuk masuk dalam kategori rehabilitasi adalah pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang pertama kali masuk program rehabilitasi, sedangkan residivis sebaiknya dikenakan pidana agar tidak melakukan kejahatan yang serupa yang dapat mengakibatkan kerugian pada keuangan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). | en_US |