Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Abstract
Indonesia hubungan industrial (Industrial relation) yang dikenal selama ini merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Perselisihan hubungan industrial yang terjadi sebenarnya dapat diselesaikan oleh para pihak yang berselisih melalui perundingan bipatrit. Namun, karena para pihak tidak ada yang bersedia mengalah sehingga cara penyelesaian tersebut tidak mampu menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Penyelesaian sengketa dengan mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut pertama, merupakan proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan, kedua, pihak ketiga netral yang disebut sebagai mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersangkutan di dalam perundingan, ketiga, mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari jalan keluar penyelesaian atas masalah-masalah sengketa, keempat, mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama proses perundingan berlangsung, dan kelima, tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang meneliti dan mengkaji norma yang terdapat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat dan mengikat yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah perselesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi. Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri melalui Mediasi.
Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana dikemukakan penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi tidak ditawarkan bersamaan dengan konsiliasi atau arbitrase karena adanya keinginan pemerintah untuk mengimplementasikan fungsi Negara dengan memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Fungsi ini diwujudkan dalam bentuk peran pemerintah melalui mediator yang berwenang menyelesaikan empat jenis perselisihan hubungan indiustrial yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antara SP/SB dalam satu perusahaan dengan kewajiban mengeluarkan anjuran tertulis. Hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada pada Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan saja yang dapat diangkat menjadi mediator penyelesaian perselisihan hubungan industrial karena mediator hubungan industrial sebagai upayah pemerintah memberikan pelayanan publik, sebagai bentuk tanggungjawab Negara dan ikut campur tangan menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara warganya. khusunya dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Implikasi hukum tidak hadirnya para pihak memenuhi panggilan mediator untuk melakukan mediasi telah menimbulkan ketidakadilan bagi pemohon atau termohon mediasi karena terhadap perbuatan yang sama menimbulkan akibat hukum yang berbeda. Para pihak mempunyai hak dan kedudukan yang sama, Negara berkewajiban memberikan perlindungan yang sama kepada pemohon dan termohon mediasi. maka tidak hadirnya pemohon atau termohon haruslah menimbulkan akibat hukum yang sama.
2. Akibat hukum terhadap perselisihan yang diputus adalah lahirnya hak dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih sebagaimana mereka mentaati undang-undang. Hal ini karena perjanjian bersama yang telah dibuat memiliki kekuatan mengikat dan menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sesuai dengan Pasal 1338 (1) KUHPerdata berkaitan dengan asas Pacta Sunt Servanda