Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Melalui Plea Bargaining Untuk Tercapainya Asas Peradilan Sederhana, Cepat, Dan Biaya Ringan

Dalam rangka peningkatan layanan dan perbaikan sistem, mohon maaf untuk sementara waktu Repositori UNISMA tidak dapat diakses secara optimal.

Show simple item record

dc.contributor.author Prayoga, Hadi
dc.date.accessioned 2023-03-30T05:23:24Z
dc.date.available 2023-03-30T05:23:24Z
dc.date.issued 2023-02-17
dc.identifier.uri http://repository.unisma.ac.id/handle/123456789/6924
dc.description.abstract Pada skripsi ini, Penyusun mengangkat penelitian yang berjudul Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Melalui Plea Bargaining untuk Tercapainya Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Pilihan judul dimaksudkan agar proses peradilan pidana di indonesia dapat diselesaikan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan dengan menggunakan mekanisme plea bargaining. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh penumpukan perkara di Pengadilan Negeri seluruh Indonesia pada tahun kerja 2016 sampai 2019. terdapat survey dari AC Nolsen dan Asia Foundation, dengan 1.700 responden, mendapatkan bahwa masyarakat banyak yang tidak puas dengan mekanisme peradilan, menganggap memakan waktu yang lama dalam menyelesaikan perkara, dan banyak dari kalangan wanita kurang memahami prosedur pengadilan. Selain itu data world Justice Project Rule of Law bahwa: Indonesia pada tahun 2015 mendapat poin 0,13 dari 1 untuk penyelesaian perkara secara efiseien. Berdasarkan latar belakang tersebut, Skripsi ini mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah dan praktik plea bargaining di beberapa negara? 2. Bagaimana plea bargaining berkaitan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan menurut peradilan di Indonesia. dalam skripsi ini pula digunakan penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Pengumpulan bahan hukum melalui metode studi literatur, dengan bahan hukum primer maupun sekunder. Selanjut bahan hukum dikaji dan dianalisis dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab isu hukum dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, plea bargaining memiliki akar sejarah pada abad ke-18 di Inggris dan abad ke-19 di Amerika serikat. Kebutuhan plea bargaining didasari oleh bangkitnya model adversary dalam sistem peradilan pidana pada saat itu, akibatnya proses peradilan mengalami transformasi mengurangi tingkat efisiensinya, dengan prosedur hukum acara menjadi sangat panjang, di satu sisi juga meningkatnya kejahatan. Sehingga Pengadilan dan Kejaksaan terjadi penumpukan perkara. Dalam Black law dictionary didefinisikan bahwa plea bargaining adalah Negosiasi Penuntut umum dengan Terdakwa, dalam kesepakatan tersebut terdakwa mengakui kesalahan atas perbuatan tindak pidana yang dilakukannya, dari pengakuan tersebut penuntut umum memberikan “reward” untuk meringankan tuntutan pidana. Praktik plea bargaining telah berkembang di beberapa negara yaitu: Amerika Serikat, Kanada, Jerman, dan Italia. Praktik di Amerika Serikat, diatur secara formal dalam Federal Rules of Criminal Procedures. Dari aturan tersebut terdakwa dapat menyatakan tidak bersalah, bersalah, atau tidak bersaing. Selain itu dari perjanjian pengakuan bersalah penuntut umum dapat menentukan: (a) tidak membawa, menutup dakwaan atau beralih ke dakwaan lain. (b) merekomendasikan, atau setuju tidak menentang permintaan terdakwa bahwa hukuman atau hukuman tertentu sesuai dari pedoman pemidanaan. (c) setuju bahwa rentang hukuman atau hukuman tertentu adalah penyelesaian dari kasus itu. Perjanjian tersebut dapat dilakukan melalui sarana telekomunikasi. Peran hakim dalam menyarankan dan memberitahu hak terdakwa, dan memastikan pengakuannya dilakukan secara sukarela. Di Kanda praktik plea bargaining seperti di Inggris. Tidak ada aturan formal terkait penyelenggaraan jalur ini. Dimana terdapat aturan kode etik bagi pengacara yang menggambarkan skenario terbatas untuk menasehati kliennya yang mengajukan pengakuan bersalah, atau memperingatkan agar tidak melakukannya. Terdapat juga kasus terkemuka dalam kaitannya dengan praktik ini dalam kasus R. v. Sinclair, Pengadilan banding Manitoba menjelaskan secara lengkap kerangka hukum tentang plea bargaining. Selain itu perbedaan yang lain dari praktik plea bargaining di Kanada adalah adanya partisipasi korban. Jerman salah satu negara yang termasuk dalam rumpun civil law system, telah memberlakukan plea bargaining dalam sistem peradilan Jerman. Dimana telah menambahkan mekanisme ini pada pasal 157c pada hukum acara pidana Jerman, untuk membolehkan kesepakatan tanpa melanggar prinsip-prinsip dalam hukum acara jerman. Aturan tersebut membatasi putusan yang tidak tunduk pada tawar menawar dakwaan (yang secara praktik dilakukan oleh Amerika, dan Kanada). Terkait rekomendasi kesepakatan hukuman pengadilan tetap mempertimbangkan proporsionalitas antara perbuatan terdakwa dan sanksi pidana, dan pengadilan secara mandiri meneliti kebenaran materiil dengan tidak hanya mengandalkan pengakuan bersalah dari terdakwa. Italia telah praktik ini diatur dalam Hukum Acara Pindana Italia. Memiliki kemiripan dengan negara Jerman, di Italia tidak diakuinya tawar-menawar. Dimana karakteristik dari plea bargaining di Italia adalah dari pengakuan bersalah, terdakwa dapat pengurangan hukuman 1/3. Namun terdapat pembatasan penggunaan plea bargaining Italia terkait tindak pidana tertentu. Penggunaan plea bargaining di Italia menggunakan persidangan acara singkat dengan membebaskan negara dari persidangan penuh Uraian diatas menunjukan bahwa plea bargaining tidak hanya berlaku di negara dalam keluarga hukum common law system. Negara-negara civil law seperti italia dan Jerman telah melakukan konvergensi hukum. menurut Esin Orucu, menyatakan, tidak ada lagi negara yang murni menganut civil law system atau common law system. Beberapa sistem hukum telah bercampur lebih praktis pada sistem hukum tiap-tiap negara. bahwa adopsi dari hukum asing ke suatu negara bukan karena merupakan nasionalitas melainkan lebih kepada masalah kebutuhan dari negara yang akan menerima sistem tersebut. Dengan begitu Indonesia sebagai negara civil law system tidak ada alasan untuk mulai menerima plea bargaining. Di Indonesia akan menerima mekanisme ini, pada pasal 199 RKUHAP. Secara sederhana ketentuan pasal 199 RKUHAP menyebutkan apabila terdakwa mengakui perbuatannya dengan ancaman pidana yang didakwa tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun maka akan dilimpahkan ke pemeriksaan perkara acara singkat. Namun dalam hal ini hakim dapat menolak pengakuan terdakwa jika hakim merasa ragu terhadap kebenaran pengakuan terdakwa. Dalam perkara tersebut yang telah dilimpahkan ke pemeriksaan acara singkat hanya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh hakim tunggal serta terdakwa hanya akan dijatuhi pidana tidak lebih dari 2/3 dari ancaman maksimum hukuman yang didakwakan kepadanya. Plea bargaining tidak luput dengan partisipasi korban dalam hal ini adalah, untuk mencapai keseimbangan dalam hukuman. Suatu hukuman harus didasarkan proporsional dan didasarkan pada kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Kerugian yang ditimbulkan pada korban merupakan faktor penting antara lain yang harus dipertimbangkan untuk menentukan hukuman. namun tidak boleh dianggap secara independen dari semua faktor lain yang relevan dari suatu hukuman en_US
dc.language.iso other en_US
dc.publisher Universitas Islam Malang en_US
dc.subject Sistem Peradilan Pidana en_US
dc.subject Plea bargaining en_US
dc.title Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Melalui Plea Bargaining Untuk Tercapainya Asas Peradilan Sederhana, Cepat, Dan Biaya Ringan en_US
dc.type Other en_US


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Kolom Pencarian


Browse

My Account