Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Melalui Plea Bargaining Untuk Tercapainya Asas Peradilan Sederhana, Cepat, Dan Biaya Ringan
Abstract
Pada skripsi ini, Penyusun mengangkat penelitian yang berjudul
Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Melalui Plea Bargaining untuk
Tercapainya Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Pilihan judul
dimaksudkan agar proses peradilan pidana di indonesia dapat diselesaikan secara
sederhana, cepat, dan biaya ringan dengan menggunakan mekanisme plea
bargaining. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh penumpukan perkara di Pengadilan
Negeri seluruh Indonesia pada tahun kerja 2016 sampai 2019. terdapat survey dari
AC Nolsen dan Asia Foundation, dengan 1.700 responden, mendapatkan bahwa
masyarakat banyak yang tidak puas dengan mekanisme peradilan, menganggap
memakan waktu yang lama dalam menyelesaikan perkara, dan banyak dari
kalangan wanita kurang memahami prosedur pengadilan. Selain itu data world
Justice Project Rule of Law bahwa: Indonesia pada tahun 2015 mendapat poin
0,13 dari 1 untuk penyelesaian perkara secara efiseien.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Skripsi ini mengangkat rumusan
masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah dan praktik plea bargaining di
beberapa negara? 2. Bagaimana plea bargaining berkaitan dengan asas peradilan
sederhana, cepat, dan biaya ringan menurut peradilan di Indonesia. dalam skripsi
ini pula digunakan penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan
pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan.
Pengumpulan bahan hukum melalui metode studi literatur, dengan bahan hukum
primer maupun sekunder. Selanjut bahan hukum dikaji dan dianalisis dengan
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab isu
hukum dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, plea bargaining memiliki akar
sejarah pada abad ke-18 di Inggris dan abad ke-19 di Amerika serikat. Kebutuhan
plea bargaining didasari oleh bangkitnya model adversary dalam sistem peradilan
pidana pada saat itu, akibatnya proses peradilan mengalami transformasi
mengurangi tingkat efisiensinya, dengan prosedur hukum acara menjadi sangat
panjang, di satu sisi juga meningkatnya kejahatan. Sehingga Pengadilan dan
Kejaksaan terjadi penumpukan perkara. Dalam Black law dictionary didefinisikan
bahwa plea bargaining adalah Negosiasi Penuntut umum dengan Terdakwa,
dalam kesepakatan tersebut terdakwa mengakui kesalahan atas perbuatan tindak
pidana yang dilakukannya, dari pengakuan tersebut penuntut umum memberikan
“reward” untuk meringankan tuntutan pidana. Praktik plea bargaining telah berkembang di beberapa negara yaitu:
Amerika Serikat, Kanada, Jerman, dan Italia. Praktik di Amerika Serikat, diatur
secara formal dalam Federal Rules of Criminal Procedures. Dari aturan tersebut
terdakwa dapat menyatakan tidak bersalah, bersalah, atau tidak bersaing. Selain
itu dari perjanjian pengakuan bersalah penuntut umum dapat menentukan: (a)
tidak membawa, menutup dakwaan atau beralih ke dakwaan lain. (b)
merekomendasikan, atau setuju tidak menentang permintaan terdakwa bahwa
hukuman atau hukuman tertentu sesuai dari pedoman pemidanaan. (c) setuju
bahwa rentang hukuman atau hukuman tertentu adalah penyelesaian dari kasus
itu. Perjanjian tersebut dapat dilakukan melalui sarana telekomunikasi. Peran
hakim dalam menyarankan dan memberitahu hak terdakwa, dan memastikan
pengakuannya dilakukan secara sukarela.
Di Kanda praktik plea bargaining seperti di Inggris. Tidak ada aturan
formal terkait penyelenggaraan jalur ini. Dimana terdapat aturan kode etik bagi
pengacara yang menggambarkan skenario terbatas untuk menasehati kliennya
yang mengajukan pengakuan bersalah, atau memperingatkan agar tidak
melakukannya. Terdapat juga kasus terkemuka dalam kaitannya dengan praktik ini
dalam kasus R. v. Sinclair, Pengadilan banding Manitoba menjelaskan secara
lengkap kerangka hukum tentang plea bargaining. Selain itu perbedaan yang lain
dari praktik plea bargaining di Kanada adalah adanya partisipasi korban.
Jerman salah satu negara yang termasuk dalam rumpun civil law system,
telah memberlakukan plea bargaining dalam sistem peradilan Jerman. Dimana
telah menambahkan mekanisme ini pada pasal 157c pada hukum acara pidana
Jerman, untuk membolehkan kesepakatan tanpa melanggar prinsip-prinsip dalam
hukum acara jerman. Aturan tersebut membatasi putusan yang tidak tunduk pada
tawar menawar dakwaan (yang secara praktik dilakukan oleh Amerika, dan
Kanada). Terkait rekomendasi kesepakatan hukuman pengadilan tetap
mempertimbangkan proporsionalitas antara perbuatan terdakwa dan sanksi
pidana, dan pengadilan secara mandiri meneliti kebenaran materiil dengan tidak
hanya mengandalkan pengakuan bersalah dari terdakwa.
Italia telah praktik ini diatur dalam Hukum Acara Pindana Italia. Memiliki
kemiripan dengan negara Jerman, di Italia tidak diakuinya tawar-menawar.
Dimana karakteristik dari plea bargaining di Italia adalah dari pengakuan
bersalah, terdakwa dapat pengurangan hukuman 1/3. Namun terdapat pembatasan
penggunaan plea bargaining Italia terkait tindak pidana tertentu. Penggunaan plea
bargaining di Italia menggunakan persidangan acara singkat dengan
membebaskan negara dari persidangan penuh
Uraian diatas menunjukan bahwa plea bargaining tidak hanya berlaku di
negara dalam keluarga hukum common law system. Negara-negara civil law
seperti italia dan Jerman telah melakukan konvergensi hukum. menurut Esin
Orucu, menyatakan, tidak ada lagi negara yang murni menganut civil law system
atau common law system. Beberapa sistem hukum telah bercampur lebih praktis
pada sistem hukum tiap-tiap negara. bahwa adopsi dari hukum asing ke suatu
negara bukan karena merupakan nasionalitas melainkan lebih kepada masalah
kebutuhan dari negara yang akan menerima sistem tersebut. Dengan begitu Indonesia sebagai negara civil law system tidak ada alasan untuk mulai menerima
plea bargaining.
Di Indonesia akan menerima mekanisme ini, pada pasal 199 RKUHAP.
Secara sederhana ketentuan pasal 199 RKUHAP menyebutkan apabila terdakwa
mengakui perbuatannya dengan ancaman pidana yang didakwa tidak lebih dari 7
(tujuh) tahun maka akan dilimpahkan ke pemeriksaan perkara acara singkat.
Namun dalam hal ini hakim dapat menolak pengakuan terdakwa jika hakim
merasa ragu terhadap kebenaran pengakuan terdakwa. Dalam perkara tersebut
yang telah dilimpahkan ke pemeriksaan acara singkat hanya akan diperiksa,
diadili, dan diputus oleh hakim tunggal serta terdakwa hanya akan dijatuhi pidana
tidak lebih dari 2/3 dari ancaman maksimum hukuman yang didakwakan
kepadanya.
Plea bargaining tidak luput dengan partisipasi korban dalam hal ini
adalah, untuk mencapai keseimbangan dalam hukuman. Suatu hukuman harus
didasarkan proporsional dan didasarkan pada kerugian yang ditimbulkan kepada
korban. Kerugian yang ditimbulkan pada korban merupakan faktor penting antara
lain yang harus dipertimbangkan untuk menentukan hukuman. namun tidak boleh
dianggap secara independen dari semua faktor lain yang relevan dari suatu
hukuman