Pembagian Harta Waris terhadap Pasangan Suami Istri yang tidak Memiliki Keturunan Berdasarkan Perspektif Imam Syafi’i
Abstract
Hukum waris merupakan hukum yang mengendalikan tentang pembagian harta peninggalan seorang yang meninggal dunia. Hukum waris sangat erat kaitanya dengan kehidupan manusia, karena tiap manusia pasti akan mengalami peristiwa kematian. Akibat hukum yang berikutnya mencuat, dengan terdapatnya peristiwa hukum kematian seorang antara lain yakni permasalahan bagaimana kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak serta kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang diatur oleh hukum waris.
Terdapat ketentuan yang diatur dalam al-Qur’an dan Hadist dan siapapun tidak berhak menaikkan ataupun mengurangi, oleh karenanya tiap muslim wajib menydari akan kewajiban menaati hukum waris yang sudah ditetapkan al-Qur’an serta Hadist itu. Dalam kasus yang beberapa bulan lalu menjadi perbincangan banyak masyarakat dikarenakan terdapat pasangan selebgaram yang mengungkapkan keputusannya untuk tidak memiliki anak (childfree). Namun, childfree bukanlah konsep yang baru di indonesia. Beberapa suami istri punya alasan tersendiri mengapa mereka memutuskan tidak memiliki anak walau sudah bertahun-tahun menikah. Tentu saja, keputusan dengan berbagai alasan tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Bila sepasang suami istri memutuskan untuk tidak memiliki anak dalam membina rumah tangga, lalu bagaimana nanti konsekuensi hukum seperti harta bersama yang dimiliki pasangan dan harta warisan yang dimiliki keduanya. Dalam pembagian harta peninggalan terdapat aturan-aturan tertentu yang dapat dilakukan sesuai dengan hukum kewarisan, yaitu peraturan tentang pemindahan harta benda dari orang yang telah meninggal kepada seseorang atau orang lain (ahli waris). Peraturan atau kaidah-kaidah hukum waris yang digunakan oleh masyarakat adalah hukum waris adat dan hukum waris Islam yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia.
Penelitian ini Diharapkan karya atau tugas akhir ini dapat menjadi kontribusi untuk memperkaya pengetahuan para pembaca, dengan menyatukan pemikiran penulis kepada pembaca agar apa yang disampaikan melalui karya ilmiah (skripsi) ini, dapat dijadikan sebagai rujukan/ refarance ataupun bahan diskusi mahasiswa maupun masyarakat, dan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum Islam.
Hasil penelitian mengemukakan bahwa Imam Syafi’i juga memperbolehkan dilakukannya ‘azl tampa harus adanya persetujuan dari istri. Karena imam Syafi`i berpandangan bahwa istri mempunyai hak dalam hubungan intim, namun tidak berhak akan ejakulasi meskipun banyak fuqaha tidak setuju dan menentang pandangan beliau, fuqaha berpendapat tetap harus adanya persetujuan sang istri apabila hendak melakukan ‘azl dalam berhubungan intim. Imam Syafi`i menjadikan rujukan yang terdapat dalam al-Quran terkait permasalahan besarnya jumlah keluarga. Yaitu yang terdapat dalam surat an-Nisa` yang memerintahkan kaum muslimin untuk selalu berlaku adil dengan istri-istrinya dan puas dengan cukup satu istri saja untuk selamanya.
Kewarisaan menurut Imam Syafi’I sama dengan ulama sunni, Bahwasannya ahli waris bagi pasangan yang tidak memiliki keturunan yaitu naik ke atas terlebih dahulu seperti orangtua, lalu baru ke bagian bawah seperti saudara kandung. Apabila keduanya telah meninggal, maka ahli warisnya turun lagi ke bawah yaitu keponakan.
Kata Kunci: Hukum Waris, Tidak Memiliki Keturunan, Imam Syafi‘I