ISLAM DAN MODERASI BERAGAMA : Kepemimpinan Transformatif dengan Mentalitas Keteladanan
Abstract
Assalamu’alaikum War. Wab.
Puji syukur kehadirat Allah SWT., karena atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan
buku ”Islam dan Moderasi Beragama, Kepemimpinan Transformatif dengan Mental
Keteladanan” dengan berbagai variannya, menggambarkan pola intraksi manusia terkait
dengan hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ’alam. Shalawatullah
wasalamuhu dihaturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW., karena beliau telah
meletakkan dasar-dasar aqidah, syari’ah, akhlaq, budaya dan peradaban yang memanusiakan
manusia di muka bumi.
Buku ini pada bab pertama, mengupas puasa dan spiritualitas keagamaan. Menjelaskan
bahwa orang mukmin hidup di dunia itu bertujuan untuk beribadah pada Allah SWT.,
dengan cara bertaqwa kepada-Nya. Orang yang bertaqwa sebagaimana dapat kita baca
pada ayat-ayat pertama surat al-Baqarah adalah mereka yang beriman kepada yang gaib,
menegakkan salat, mendermakan sebagian harta yang dikaruniakan Allah kepada mereka,
percaya pada ajaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan yang diturunkan
kepada sebelum beliau. Kelima indikasi taqwa itu dapat diinterpretasikan sebagai beriman
secara an-sich (dengan menerima kenyataan adanya kenyataan gaib), beribadah sebagai
usaha melakukan pendekatan diri kepada Allah, memiliki kesadaran tentang tanggung
jawab sosial, mengakui adanya kontinuitas dan kesatuan ajaran kebenaran dalam agamaagama sepanjang zaman, dan kesadaran akan tanggung jawab pribadi di hadapan Allah SWT
pada Hari Akhir nanti.
Dari kelima unsur yang menjadi indikasi taqwa itu, unsur keyakinan kepada yang gaib
menjadi tekanan utama peneguhannya melalui ibadah puasa. Sebab, dari semua ibadat, puasa
adalah ibadat yang paling pribadi, personal, atau privat, tanpa kemungkinan bagi orang lain
untuk dapat sepenuhnya melihat, mengetahui dan apalagi menilai. Dengan demikian, puasa
sebagai ibadah yang sangat privat itu merupakan latihan akan kesadaran kehadliran Allah
SWT dalam hidupnya kapanpun dan di manapun seseorang berada. Kesadaran inilah yang melandasi ketaqwaan yang menjadi misi utama dan tujuan ibadah
puasa yang kemudian meluas pada nilai-nilai hidup lain yang amat tinggi seperti bertingkah
laku yang baik dan terpuji. Dengan puasa yang dijalankan dengan kesadaran yang mendalam
akan kehadiran Allah SWT pada dirinya, seseorang dilatih untuk mampu mengendalikan
diri dari desakan memenuhi kebutuhan biologis yang menjelma menjadi dorongan “hawa
nafsu”. Hal ini sangat logis, mengingat sadar akan kehadiran Allah SWT dalam hidup adalah
moralitas yang tinggi, budi pekerti luhur atau al akhlaq al-karimah.
Kesadaran spiritual berupa perasaan selalu dilihat dan diawasi Allah, dalam Islam, sama
dengan ihsan yang melahirkan sikap pengendalian diri yang kuat, jujur, tanggung jawab,
amanah, sabar, ridha dan tawakkal. Saat berpuasa, seseorang dilatih mengendalikan diri
(self control) dan menahan nafsu, yang misinya meningkatkan daya tahan mental dalam
menghadapi berbagai stress kehidupan dan berimplikasi sangat penting bagi kesehatan jiwa.
Pada bab kedua, menjelaskan tentang Islam dan moderasi beragam, bahwa ajaran Islam
yang bersifat universal (rahmatan lil’alamin) mengajarkan umatnya berpikir, berperilaku,
dan berinteraksi yang didasari sikap tawazun (seimbang) dalam dimensi duniawi dan
ukhrawi. Islam juga meletakkan dasar ajaran untuk mengimplementasikan sikap moderasi
beragama, termasuk di dalamnya menghargai perebedaan agama, menghormati keyakinan
dan cara beribadah umat yang berbeda agama, bersikap toleransi dan berlaku adil terhadap
semua umat beragama. Meskipun demikian sikap moderasi beragama dalam Islam tidak
berarti bahwa umat Islam yang dianggap moderat dilarang berpegang teguh dan bertindak
istiqamah dalam batasan-batasan yang justru wajib dipertahankan sebagai pemeliharaan
identitas keimanannya kepada Allah.
Moderasi beragama memang baru hangat dibicarakan di Indonesia sepuluh tahun
terakhir ini, namun dalam Islam sikap moderasi sudah lama adanya. Istilah moderasi dalam
Islam dikenal dengan “wasathiyah”, bahkan umatnya mendapat julukan ummatan wasathan,
yaitu menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Alquran surah AlBaqarah ayat 143 menyebutkan: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu “umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas(perbuatan) kamu”.
Salah satu bentuk moderasi beragama yang ditunjukkan Islam adalah dengan
memberikan kebebasan beragama. Ini dapat kita lihat pada Pasal 25 Piagam Madinah
yang menyebutkan “bagi orang-orang Yahudi, agama meraka dan orang-orang Islam agama
mereka.” Pasal ini memberikan jaminan kebebasan beragama. Piagam Madinah adalah
suatu Piagam Politik yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW tidak lama setelah beliau hijrah
ke Madinah, digunakan untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat Madinah yangdihuni oleh beberapa macam golongan. Dalam Piagam itu dirumuskan kebebasan beragama,
hubungan antara kelompok, dan kewajiban mempertahankan kesatuan hidup bersama.
Di antara wujud kebebasan beragama itu adalah beribadat menurut agama masingmasing. Dalam kehidupan bersama itu, komunitas Yahudi bebas dalam melaksanakan agama
mereka dan Islam menunjukkan toleransi terhadap agama lain. Kebebasan beragama yang
ditetapkan dalam Piagam Madinah itu, tampaknya lebih dulu dari turunnya firman Allah
SWT dalam QS, 2: 256 yang artinya “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa
yang ingat pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada tali agama yang kuat yang tidak pernah putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
Kebebasan beragama itu tampak pula pada pertemuan tiga agama di Madinah, yaitu agama
Islam, Yahudi, dan Nasrani. Dalam suasana kebebasan beragama diadakan dialog dan debat
teologis antarpemuka agama dari ketiga agama itu. Pihak Yahudi menolak sama sakali ajaran
Isa dan Muhammad SAW, mereka menonjolkan bahwa Uzayr adalah anak Allah. Pihak Nasrani
mengemukakan paham trinitas dan mengakui Isa-lah adalah anak Tuhan. Muhammad SAW
mengajak manusia meng-Esa-kan Tuhan. Kepada kaum Yahudi dan Nasrani, Muhammad
SAW., mengajak: “Marilah kita menerima kalimat yang sama di antara kami dan kalian. Bahwa
tidak ada yang kita sembah selain Allah. Kita tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun.
Tidak pula di antara kita mempertuhan satu sama lain, selain Allah. Pertemuan tiga agama
tersebut tidak membawa kepada kesatuan agama. Yahudi dan Nasrani tetap pada pendirian
mereka. Muhammad SAW juga tidak memaksa untuk mengubah agama mereka. Muhammad
SAW., hanya mengajak mereka meng-Esa-kan Allah.
Kemudian ketika bulan Januari 630 M atau Ramadhan tahun ke-8 H Kota Mekah jatuh
ke bawah kekuasaan Islam, dikenal dengan sebutan fath atau penaklukan par excellence.
Muhammad Saw. menunjukkan kebesaran jiwa, keluasan pandangan dan sikap kasih
sayangnya dengan memberikan amnesti umum kepada seluruh kaum musyrikin Quraisy,
termasuk semua pemimpin mereka. Sejalan dengan kebijakan tersebut tidak seorang pun
dipaksa masuk Islam. Konversi agama, tampaknya benar-benar diserahkan kepada kesadaran
mereka. Piagam Madinah yang berlaku pada zaman Rasulullah memuat ketentuan-ketentuan
moderasi beragama yang menjadi dasar kerukunan hidup beragama. Artinya, para pemeluk
agama yang berbeda harus hidup berdampingan secara damai. Agama yang berbeda tidak
menjadi penghalang bagi kerukunan hidup di tengah masyarakat. Baik dalam beribadah
sebagai individu maupun dalam berinteraksi sosial sebagai anggota masyarakat, Islam
mengajarkan untuk selalu bersikap moderat.Islam juga cinta damai, firman Allah SWT dalam QS 4: 114 yang artinya “Tidak ada
kebaikan dari orang-orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat baik,
atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena
mencari keridhaan Allah, kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. Perdamaian
antara orang Islam dan bukan Islam diperbolehkan dengan berdasarkan ketentuan syariat,
Firman Allah SWT dalam QS. 8: 16 yang artinya “Jika mereka merendah untuk berdamai,
maka merendahlah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesunguhnya Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Nabi Muhammad SAW. sangat giat dalam usaha kepada perdamaian. Al-diin almu’amalah (Agama adalah interaksi), demikian Nabi Muhammad SAW bersabda. Maksud
beliau, keberagaman diukur dari interaksi. Semakin baik interaksi seseorang semakin baik
pula keberagamaanya. Islam yang juga terambil dari kata yang sama “salam atau damai”,
menuntut agar interaksi atau hubungan dengan siapapun harus dilakukan dengan baik,
damai, dan membawa kepada kedamaian. Demikianlah Islam dengan ajarannya sangat
menganjurkan adanya kerukunan dan kedamaian di manapun dan kapanpun. Rukun
dan damai adalah wujud esensi dari moderasi beragama, dan moderasi beragama atau
”wasathiyah” merupakan esensi dari ajaran Islam.
Pada bab ketiga, banyak membicarakan tentang pendidikan, yang merupakan salah
satu cara mempertahankan keberadaan suatu bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan
menciptakan sumber daya manusi yang memiliki kompetensi dan keterampilan yang baik
sehingga dapat membuat suatu negara menjadi maju. Apabila mutu pendidikan negara itu
baik maka negara itu akan maju . Sebaliknya apabila mutu pendidikan suatu negara rendah
maka negara tersebut akan terkendala dan tidak berkembang. Pendidikan menjadi dasar
untuk mempersiapkan masa depan yang gemilang. Pendidikan dapat membangun karakter
dan kepribadian seseorang menjadi lebih baik dalam kehidupan dan pergaulan sebagai
anggota masyarakat. Dengan Pendidikan manusia akan mampu memaksimalkan potensi
dan bakat yang dimilikinya.
Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun
semua kodrat yang ada pada anak sehingga mereka mencapai keselamatan dan kebahagian
yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Karenanya,
pendidik itu hanya dapat menuntun berkembangnya kekuatan kodrat yang ada, agar
dapat memperbaiki prilaku (bukan dasarnya) hidupnya. Untuk mencapai tujuan ini, dapat
diwujudkan dengan pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan yang memerdekakan
yaitu anak diberi kebebasan dalam proses pembelajaran sesuai dengan minat, bakat dan
potensinya, namun pendidik harus menjadi pendamping serta memberi tuntunan agar anak
tidak kehilangan arah dan berakibat mencelakakan diri. Sehingga sebagai seorang pendidikharus dapat menerapkan pendidikan yang memerdekakan anak didik, sehingga saat ini
muncul konsep merdeka belajar.
Pada bab keempat, mengupas tentang religiositas merupakan salah satu aspek insani
berupa getar hati dan kualitas manusia yang mendorong bertumbuhnya sikap atau
kecenderungan hidup yang bernilai. Religiositas merupakan hal yang mendasar atau esensial
dalam hidup manusia. Dalam pengertian lain, religiositas merupakan daya-daya insani yang
bersifat batiniah yang ada di dalam kedalaman hati. Religiositas merupakan “ibu dari cinta
kepada kebenaran, kesukaan pada gejala yang wajar, sederhana, jujur dan sejati”.
Religiositas merupakan inti dan daya agama. Bisa diumpamakan kalau agama adalah
bunga yang indah, religiositas merupakan sari bunga yang terletak di dalam jantung bunga
itu. Agama atau religion (Latin: religio, re-legere) merupakan model kehidupan yang ditandai
oleh ikatan atau keterhubungan praksis kehidupan doa-ritual, komunitas persaudaraan, dan
tindakan amal kasih. Dengan demikian, religiositas dan agama (religion) merupakan dua sisi
dari model kehidupan yang menyatukan aspek empiris dan meta empiris atau menyatukan
dua sisi insani, yakni sisi jasmaniah dan rohaniah.
Ketika agama tidak didasari oleh kualitas batin atau religiositas, ia kehilangan daya dan
akan menjadi sekedar kegiatan sosial-politik tanpa visi kemanusiaan yang utuh. Sementara
religiositas tanpa agama akan menjadi gerakan karismatik yang tidak bisa dijamin kelestarian
dan keberlanjutannya.
Pada bab kelima, mengupas tentang agama kaitannya dengan etos kerja, maka
persoalannya adalah agama dalam tahap penghayatan yang mana. Hal ini disebabkan karena
etos kerja berkaitan langsung dengan usaha manusia mengatasi dan meningkatkan kehidupan
produktivitas yang bersifat sosial ekonomis. Untuk meningkatkan produktivitas ekonomis
yang berdimensi humanitas, diperlukan etos kerja yang bersumber pada penghayatan
agama yang lebih antroposentris dengan memberikan peran lebih besar dan “bebas” kepada
manusia untuk mengembangkan kreativitasnya secara optimal. Pendekatan antroposentris
dalam agama dimungkinkan, karena agama pada hakikatnya untuk manusia dan untuk
memperkokoh kemanusiaan.
Manusia membutuhkan agama untuk mengenal dan memasuki dimensi gaib yang telah
menjadi bagian bawaan kodratnya, dan hanya agamalah yang dapat mengantarkan manusia
berkenalan dan bahkan hidup dalam kegaiban. Agama sama sekali bukan dan tidak untuk
Tuhan, karena Tuhan sama sekali tidak memerlukan dan membutuhkan apapun, apalagi
agama. Etos suatu bangsa menurut Clifford Geertz (1974) adalah sifat, watak, dan kualitas
kehidupan mereka, moral dan gaya estetis dan suasana-suasana hati mereka. Etos adalah
sikap mendasar terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikandalam kehidupan. Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar dalam kerja.
Sebagai sikap hidup yang mendasar, suatu etos pada dasarnya merupakan cerminan dari
pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai luhur yang transenden.
Dalam kaitan bahasan di atas, maka agama bagi pemeluknya merupakan sistem nilai
yang mendasari suatu etos kerjanya. Kerja seyogyanya diletakkan sebagai realisasi dari ajaran
agamanya. Telah banyak dilakukan studi-studi mengenai hubungan antara etos kerja dengan
agama. Hampir semua agama mengajarkan kepada manusia untuk memberikan sedekah dan
menyantuni yang membutuhkan, mendorong pemeluknya untuk giat bekerja mendapatkan
rezeki dan berkah dari Tuhannya, bahkan dalam Islam, dikenal anjuran Nabi Muhammad
SAW yang menegaskan bahwa tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah, artinya
memberi lebih mulia dari pada meminta, dan untuk dapat memberi tentu seseorang harus
mempunyai kelebihan untuk dapat diberikan kepada sesamanya yang kekurangan. Dan
untuk dapat memberi, diperlukan tidak saja ia selayaknya berkecukupan secara material,
tetapi juga kedalaman spiritual sehingga memberi merupakan panggilan sosial keagamaan.
Fenomena kemiskinan, kesengsaraan dan penderitaan dalam kehidupan manusia, pada
dasarnya banyak berkaitan dengan problematika ketimpangan dalam realitas hidup manusia
sendiri.
Pada bab keenam, mengupas tentang politik dan kemanusiaan, politik selalu dicitrakan
sebagai barang kotor. Soe Hok Gie mengatakan, politik adalah barang yang paling kotor,
lumpur-lumpur yang kotor. Tapi, suatu saat ketika tidak dapat menghindari, maka terjunlah.
Kondisi panggung politik di mana saja selalu menyuguhkan akrobat yang sangat berbahaya,
membuat para penonton tegang bahkan tak mau lagi menonton pertunjukan tersebut,
apalagi terlibat sebagai aktor. Sebagai contoh dapat kita lihat di media sosial begitu mudahnya
mengkafirkan, menyalahkan, menuduh sesat, bahkan menyebar kabar hoaks sudah menjadi
kebiasaan.
Jika melihat fenomena di atas, politik sangat jauh dari rasa kemanusiaan. Kita dapat
melihat fenomena di mana manusia memakan saudaranya sendiri. Padahal seharusnya politik
merupakan alat untuk mengabdi pada kemanusiaan, bukan menghamba pada kekuasaan.
Meminjam pendapat Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara
untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan malah memperkeruh suasana. Namun, kita
tidak perlu risau dengan politik dan menjadi apolitis. Karena beberapa pemimpin dunia
seperti Gandhi dari India dan Nelson Mandela dari Afrika Selatan dapat mengubah wajah
bengis politik menjadi manis. Bahwa politik tidak sepenuhnya kotor, politik tidak sepenuhnya
jahat, dan politik juga dapat memanusiakan manusiaPada bab ketujuh, mengupas tentang kepemimpinan dan nasionalisme, di Indonesia
sendiri kita mengenal sosok KH. Abdurrahman Wahid dengan sapaan akrab Gus Dur. Gus Dur
merupakan politisi ulung, kiprahnya tidak dapat diragukan lagi terutama sejak tumbangnya
rezim Orde Baru. Gus Dur turut serta mendirikan partai politik yang mengantarkannya
hingga ke singgasana orang nomor satu di Indonesia. Selain itu Gus Dur juga dikenal sebagai
bapak bangsa yang gigih dan konsisten dalam memperjuangkan kemanusiaan, membela
kaum minoritas, dan menentang segala bentuk penindasan di muka bumi. Sebagai politisi
yang santri rupanya ia berprinsip “kemanusiaan lebih penting daripada politik”. Walaupun
sepak terjangnya tak jarang menuai kontroversi terutama di kalangan lawan-lawan politiknya.
Gus Dur, Gandhi, dan Mandela merupakan contoh tokoh yang berhasil memadukan
dua kutub yang dianggap berseberangan, yaitu politik dan kemanusiaan. Belajar dari mereka,
seorang pemimpin yang bisa memimpin bukan perkara mudah. Jika ingin menjadi ksatria
yang perkasa, mempunyai kesaktian dan tak dapat dikalahkan, harus digembleng terlebih
dahulu di Kawah Candradimuka. Kawah candradimuka adalah kawah yang terdapat di alam
kahyangan seperti disebutkan dalam kisah pewayangan. Kisah tersebut menggambarkan
bahwa untuk menjadi pemimpin yang kuat, yang berjiwa kesatria membutuhkan proses yang
lama dan berjenjang, bukan karbitan seperti kebanyakan calon pemimpin saat ini.
Tidak cukup sampai di situ seorang pemimpin juga harus mempunyai komitmen
yang tak tergoyahkan oleh badai apapun. Komitmen politik, visi dan misi yang jelas, dan
konsistensi merupakan prasyarat penting untuk melakukan perubahan. Karena politik itu
ibarat permainan bola, prediksinya bisa menang namun hasilnya kalah. Begitu pula dalam
proses kepemimpinan, tujuan awalnya bisa baik tapi akhirnya bisa buruk, lagi-lagi semuanya
tergantung pada komitmen sang pemimpin.
Agar proses kepemimpinan berjalan dengan baik, seorang pemimpin butuh bekerja
sama dengan banyak pihak atau saat ini kita kenal dengan kolaborasi. Seorang pemimpin
tidak mungkin berjalan sendirian, butuh dukungan untuk mewujudkan komitmennya.
Dan, itu hanya dapat dilakukan jika pemimpin tersebut mampu berkolaborasi dengan
siapapun, termasuk dengan lawannya sekalipun. Pemimpin maupun calon pemimpin yang
akan datang perlu belajar dan meneladani Gandhi, Mandela, dan Gus Dur bahwa kekuasaan
bukan segalanya. Ada yang lebih penting daripada itu, yaitu kemanusiaan. Minimal yang
harus dilakukan adalah bagaimana cara mendapatkan kekuasaan, dan memperlakukan
masyarakat sebagai konstituen utama dalam berdemokrasi dengan cara yang beradab, tidak
menghalalkan segala upaya.
Indonesia sudah 76 tahun merdeka dengan segala dinamika sejarah yang panjang. Para
pendiri bangsa telah berhasil merumuskan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Bersamadengan pemimpin bangsa dari generasi ke generasi, telah pula bersepakat untuk menjadikan
Pancasila sebagai salah satu pilar bangsa yang utama, bersama dengan UUD 1945, NKRI
dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam istilah yang lebih heroik, keempat pilar Negara ini sudah
dianggap final dan harga mati, tidak ada perubahan, penggantian dan tawar menawar
lagi. Setelah sekian lama merdeka, tentu Pacasila tidak perlu lagi diucapkan dalam ucapan
verbal “Saya atau Aku Pancasila”. Yang lebih dibutuhkan sekarang adalah penghayatan
dan pengamalan Pancasila itu sendiri secara baik, benar dan proporsional. Penghayatan
dan pengamalan sangat diperlukan karena dari situlah akan mampu diukur sejauhmana
ketulusan dan integritas nasionalisme seseorang warganegara, pejabat, pemimpin hingga
komitmen suatu organisasi, partai, lembaga dan sebagainya.
Korelasi antara nilai-nilai Pancasila dengan nasionalisme. Ketuhanan Yang Maha Esa,
oleh pendiri bangsa sudah tepat diposisikan sebagai sila pertama. Sebab semua bangsa
Indonesia adalah makhluk beragama dan bertuhan, homo-religious dan homo-divinans,
bukan atheis. Ketika agama-agama resmi belum datang, bangsa kita percaya kepada
animisme dan dinamisme, dan setelah agama datang kita menganut beberapa agama yang
sekarang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Semua penganut agama dipersilakan meyakini, mempercayai dengan beribadah menurut
agama yang dianutnya, dengan tetap saling memelihara toleransi beragama, menghargai
dan menghormati. Toleransi bukanlah mencampuradukkan semua agama (sinkretisme),
melainkan kita menerima keberbedaan dalam beragama. Kita gunakan unsur persamaan
dalam ajaran agama sebagai energi positif untuk membangun bangsa, dan kita jadikan
perbedaan keyakinan bukan sebagai sumber konflik, melainkan sebagai mozaik yang
mewarnai dan memperindah kehidupan bangsa. Kita jadikan kehidupan nasional yang solid
dan bersatu tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan masing-masing. Kalau perbedaan
kita jadikan sumber masalah, maka jangankan antarpenganut agama yang berbeda, sesama
penganut agama pun mudah timbul konflik sosial dan perpecahan, sebagaimana sering kita
rasakan selama ini.
Pada bab kedelapan, banyak bicara tentang kebudayaan (culture) adalah sesuatu yang
akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Oleh karenanya, kebudayaan selalu bertalian erat dengan kondisi sosial masyarakat
beserta alam pikirannya atau pola berpikir masyarakat. Kebudayaan yang mewujud
di permukaan masyarakat manusia, sebenarnya yang lebih dikenal sebagai peradaban
(civilization). Acapkali istilah peradaban tersebut dipahami sebagai budaya yang lebih besar
dan lebih maju, berbeda dengan budaya yang lebih kecil, yang konon primitif.Secara etimologis, kata kebudayaan itu berasal dari kata : budaya yang mengalami proses
afiksasi : ke - an, sehingga menjadi kebudayaan. Kata budaya itu sendiri berasal dari bahasa
Sansekerta, yakni dari kata buddh(i) yang dalam bentuk jamak adalah buddhayah yang
bermakna : akal pikiran/pola berpikir/alam pikiran. Dengan demikian, maka kata kebudayaan
mengandung makna hal ihwal tentang budaya atau hal ihwal tentang kondisi alam pikiran.
Kondisi alam pikiran siapa? Sudah barang tentu adalah kondisi alam pikiran masyarakat
manusia. Oleh karenanya, kata budaya ataupun kebudayaan selalu berhubungan erat dengan
kata masyarakat (social, society). Sehingga pada gilirannya, berbicara tentang kebudayaan
adalah selalu menyangkut tentang kondisi sosial masyarakat beserta alam pikirannya. Dan,
kondisi sosial masyarakat dimaksud, yang tampak di permukaan menempati satu ruang dan
waktunya, itulah peradaban.
Kebudayaan dan peradaban apabila diumpamakan atau dianalogikan, adalah seperti
halnya sebuah rambu-rambu lalu lintas. Rambu-rambu lalu lintas yang kita temui di jalan
itulah dapat kita jadikan sebagai analogi tentang kebudayaan dan peradaban. Begitu kita
menyaksikan sebuah rambu lalu lintas bergambar huruf P bergaris miring (/) merah dalam
lingkaran warna hitam misalnya, maka rambu tersebut mengisyaratkan makna dilarang
parkir di radius tertancapnya tanda rambu tersebut. Rambu lalu lintas itulah sebagai
peradaban, isyarat maknanya adalah kebudayaan.
Pada bab terakhir, banyak membicarakan hal ikhwal entrepreneur, kita akan berpikir
pada seseorang yang bergelut di satu bidang bisnis dan menghadirkan inovasi yang kekinian.
Entrepreneurship merupakan sebuah proses seorang entrepreneur saat mendirikan
sebuah bisnis. Dalam pertumbuhan ekonomi, entrepreneurship memegang peranan yang
sangat penting seperti menciptakan lapangan pekerjaan baru, mendorong perkembangan
teknologi, hingga menciptakan inovasi, karena seorang entrepreneur tidak akan tinggal diam
ketika dia telah mencapai sesuatu tujuan, dia akan terus berinovasi. Nah, inovasi inilah yang
menjadikan entrepreneurship seakan jadi angin segar dalam industri perekonomian.
Bila kita melihat ada beberapa jenis entrepreneur, yang meliputi foodpreneur,
technopreneur, womenpreneur, mompreneur, sociopreneur dan ecopreneur. Kesuksesan
seorang entrepreneur tak lepas dari jiwa kewirausahaannya yang tinggi, yakni selalu berpikir
optimis, berpikiran terbuka, fokus pada tujuan, memiliki kemampuan problem solving yang
bagus, berani mengambil risiko dan mampu menciptakan peluang bisnis. Selain memiliki
ciri-ciri di atas, seorang entrepreneur juga memiliki sifat atau karakteristik khusus yang
mudah dikenali. Misalnya, memiliki percaya diri yang tinggi, memiliki jiwa kepemimpinan,
dan memiliki orisinalitas.