ISLAM DAN MODERASI BERAGAMA : Kepemimpinan Transformatif dengan Mentalitas Keteladanan

Dalam rangka peningkatan layanan dan perbaikan sistem, mohon maaf untuk sementara waktu Repositori UNISMA tidak dapat diakses secara optimal.

Show simple item record

dc.contributor.author Bakri, Maskuri
dc.date.accessioned 2024-04-05T03:49:58Z
dc.date.available 2024-04-05T03:49:58Z
dc.date.issued 2024-01-01
dc.identifier.isbn 978-623-485-181-6
dc.identifier.uri http://repository.unisma.ac.id/handle/123456789/9195
dc.description [ARCHIVES] Copyright from : Penerbit Edulitera & Penulis en_US
dc.description.abstract Assalamu’alaikum War. Wab. Puji syukur kehadirat Allah SWT., karena atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan buku ”Islam dan Moderasi Beragama, Kepemimpinan Transformatif dengan Mental Keteladanan” dengan berbagai variannya, menggambarkan pola intraksi manusia terkait dengan hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ’alam. Shalawatullah wasalamuhu dihaturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW., karena beliau telah meletakkan dasar-dasar aqidah, syari’ah, akhlaq, budaya dan peradaban yang memanusiakan manusia di muka bumi. Buku ini pada bab pertama, mengupas puasa dan spiritualitas keagamaan. Menjelaskan bahwa orang mukmin hidup di dunia itu bertujuan untuk beribadah pada Allah SWT., dengan cara bertaqwa kepada-Nya. Orang yang bertaqwa sebagaimana dapat kita baca pada ayat-ayat pertama surat al-Baqarah adalah mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan salat, mendermakan sebagian harta yang dikaruniakan Allah kepada mereka, percaya pada ajaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan yang diturunkan kepada sebelum beliau. Kelima indikasi taqwa itu dapat diinterpretasikan sebagai beriman secara an-sich (dengan menerima kenyataan adanya kenyataan gaib), beribadah sebagai usaha melakukan pendekatan diri kepada Allah, memiliki kesadaran tentang tanggung jawab sosial, mengakui adanya kontinuitas dan kesatuan ajaran kebenaran dalam agamaagama sepanjang zaman, dan kesadaran akan tanggung jawab pribadi di hadapan Allah SWT pada Hari Akhir nanti. Dari kelima unsur yang menjadi indikasi taqwa itu, unsur keyakinan kepada yang gaib menjadi tekanan utama peneguhannya melalui ibadah puasa. Sebab, dari semua ibadat, puasa adalah ibadat yang paling pribadi, personal, atau privat, tanpa kemungkinan bagi orang lain untuk dapat sepenuhnya melihat, mengetahui dan apalagi menilai. Dengan demikian, puasa sebagai ibadah yang sangat privat itu merupakan latihan akan kesadaran kehadliran Allah SWT dalam hidupnya kapanpun dan di manapun seseorang berada. Kesadaran inilah yang melandasi ketaqwaan yang menjadi misi utama dan tujuan ibadah puasa yang kemudian meluas pada nilai-nilai hidup lain yang amat tinggi seperti bertingkah laku yang baik dan terpuji. Dengan puasa yang dijalankan dengan kesadaran yang mendalam akan kehadiran Allah SWT pada dirinya, seseorang dilatih untuk mampu mengendalikan diri dari desakan memenuhi kebutuhan biologis yang menjelma menjadi dorongan “hawa nafsu”. Hal ini sangat logis, mengingat sadar akan kehadiran Allah SWT dalam hidup adalah moralitas yang tinggi, budi pekerti luhur atau al akhlaq al-karimah. Kesadaran spiritual berupa perasaan selalu dilihat dan diawasi Allah, dalam Islam, sama dengan ihsan yang melahirkan sikap pengendalian diri yang kuat, jujur, tanggung jawab, amanah, sabar, ridha dan tawakkal. Saat berpuasa, seseorang dilatih mengendalikan diri (self control) dan menahan nafsu, yang misinya meningkatkan daya tahan mental dalam menghadapi berbagai stress kehidupan dan berimplikasi sangat penting bagi kesehatan jiwa. Pada bab kedua, menjelaskan tentang Islam dan moderasi beragam, bahwa ajaran Islam yang bersifat universal (rahmatan lil’alamin) mengajarkan umatnya berpikir, berperilaku, dan berinteraksi yang didasari sikap tawazun (seimbang) dalam dimensi duniawi dan ukhrawi. Islam juga meletakkan dasar ajaran untuk mengimplementasikan sikap moderasi beragama, termasuk di dalamnya menghargai perebedaan agama, menghormati keyakinan dan cara beribadah umat yang berbeda agama, bersikap toleransi dan berlaku adil terhadap semua umat beragama. Meskipun demikian sikap moderasi beragama dalam Islam tidak berarti bahwa umat Islam yang dianggap moderat dilarang berpegang teguh dan bertindak istiqamah dalam batasan-batasan yang justru wajib dipertahankan sebagai pemeliharaan identitas keimanannya kepada Allah. Moderasi beragama memang baru hangat dibicarakan di Indonesia sepuluh tahun terakhir ini, namun dalam Islam sikap moderasi sudah lama adanya. Istilah moderasi dalam Islam dikenal dengan “wasathiyah”, bahkan umatnya mendapat julukan ummatan wasathan, yaitu menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Alquran surah AlBaqarah ayat 143 menyebutkan: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas(perbuatan) kamu”. Salah satu bentuk moderasi beragama yang ditunjukkan Islam adalah dengan memberikan kebebasan beragama. Ini dapat kita lihat pada Pasal 25 Piagam Madinah yang menyebutkan “bagi orang-orang Yahudi, agama meraka dan orang-orang Islam agama mereka.” Pasal ini memberikan jaminan kebebasan beragama. Piagam Madinah adalah suatu Piagam Politik yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW tidak lama setelah beliau hijrah ke Madinah, digunakan untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat Madinah yangdihuni oleh beberapa macam golongan. Dalam Piagam itu dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antara kelompok, dan kewajiban mempertahankan kesatuan hidup bersama. Di antara wujud kebebasan beragama itu adalah beribadat menurut agama masingmasing. Dalam kehidupan bersama itu, komunitas Yahudi bebas dalam melaksanakan agama mereka dan Islam menunjukkan toleransi terhadap agama lain. Kebebasan beragama yang ditetapkan dalam Piagam Madinah itu, tampaknya lebih dulu dari turunnya firman Allah SWT dalam QS, 2: 256 yang artinya “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingat pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali agama yang kuat yang tidak pernah putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Kebebasan beragama itu tampak pula pada pertemuan tiga agama di Madinah, yaitu agama Islam, Yahudi, dan Nasrani. Dalam suasana kebebasan beragama diadakan dialog dan debat teologis antarpemuka agama dari ketiga agama itu. Pihak Yahudi menolak sama sakali ajaran Isa dan Muhammad SAW, mereka menonjolkan bahwa Uzayr adalah anak Allah. Pihak Nasrani mengemukakan paham trinitas dan mengakui Isa-lah adalah anak Tuhan. Muhammad SAW mengajak manusia meng-Esa-kan Tuhan. Kepada kaum Yahudi dan Nasrani, Muhammad SAW., mengajak: “Marilah kita menerima kalimat yang sama di antara kami dan kalian. Bahwa tidak ada yang kita sembah selain Allah. Kita tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Tidak pula di antara kita mempertuhan satu sama lain, selain Allah. Pertemuan tiga agama tersebut tidak membawa kepada kesatuan agama. Yahudi dan Nasrani tetap pada pendirian mereka. Muhammad SAW juga tidak memaksa untuk mengubah agama mereka. Muhammad SAW., hanya mengajak mereka meng-Esa-kan Allah. Kemudian ketika bulan Januari 630 M atau Ramadhan tahun ke-8 H Kota Mekah jatuh ke bawah kekuasaan Islam, dikenal dengan sebutan fath atau penaklukan par excellence. Muhammad Saw. menunjukkan kebesaran jiwa, keluasan pandangan dan sikap kasih sayangnya dengan memberikan amnesti umum kepada seluruh kaum musyrikin Quraisy, termasuk semua pemimpin mereka. Sejalan dengan kebijakan tersebut tidak seorang pun dipaksa masuk Islam. Konversi agama, tampaknya benar-benar diserahkan kepada kesadaran mereka. Piagam Madinah yang berlaku pada zaman Rasulullah memuat ketentuan-ketentuan moderasi beragama yang menjadi dasar kerukunan hidup beragama. Artinya, para pemeluk agama yang berbeda harus hidup berdampingan secara damai. Agama yang berbeda tidak menjadi penghalang bagi kerukunan hidup di tengah masyarakat. Baik dalam beribadah sebagai individu maupun dalam berinteraksi sosial sebagai anggota masyarakat, Islam mengajarkan untuk selalu bersikap moderat.Islam juga cinta damai, firman Allah SWT dalam QS 4: 114 yang artinya “Tidak ada kebaikan dari orang-orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat baik, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. Perdamaian antara orang Islam dan bukan Islam diperbolehkan dengan berdasarkan ketentuan syariat, Firman Allah SWT dalam QS. 8: 16 yang artinya “Jika mereka merendah untuk berdamai, maka merendahlah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesunguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Nabi Muhammad SAW. sangat giat dalam usaha kepada perdamaian. Al-diin almu’amalah (Agama adalah interaksi), demikian Nabi Muhammad SAW bersabda. Maksud beliau, keberagaman diukur dari interaksi. Semakin baik interaksi seseorang semakin baik pula keberagamaanya. Islam yang juga terambil dari kata yang sama “salam atau damai”, menuntut agar interaksi atau hubungan dengan siapapun harus dilakukan dengan baik, damai, dan membawa kepada kedamaian. Demikianlah Islam dengan ajarannya sangat menganjurkan adanya kerukunan dan kedamaian di manapun dan kapanpun. Rukun dan damai adalah wujud esensi dari moderasi beragama, dan moderasi beragama atau ”wasathiyah” merupakan esensi dari ajaran Islam. Pada bab ketiga, banyak membicarakan tentang pendidikan, yang merupakan salah satu cara mempertahankan keberadaan suatu bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan menciptakan sumber daya manusi yang memiliki kompetensi dan keterampilan yang baik sehingga dapat membuat suatu negara menjadi maju. Apabila mutu pendidikan negara itu baik maka negara itu akan maju . Sebaliknya apabila mutu pendidikan suatu negara rendah maka negara tersebut akan terkendala dan tidak berkembang. Pendidikan menjadi dasar untuk mempersiapkan masa depan yang gemilang. Pendidikan dapat membangun karakter dan kepribadian seseorang menjadi lebih baik dalam kehidupan dan pergaulan sebagai anggota masyarakat. Dengan Pendidikan manusia akan mampu memaksimalkan potensi dan bakat yang dimilikinya. Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun semua kodrat yang ada pada anak sehingga mereka mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Karenanya, pendidik itu hanya dapat menuntun berkembangnya kekuatan kodrat yang ada, agar dapat memperbaiki prilaku (bukan dasarnya) hidupnya. Untuk mencapai tujuan ini, dapat diwujudkan dengan pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan yang memerdekakan yaitu anak diberi kebebasan dalam proses pembelajaran sesuai dengan minat, bakat dan potensinya, namun pendidik harus menjadi pendamping serta memberi tuntunan agar anak tidak kehilangan arah dan berakibat mencelakakan diri. Sehingga sebagai seorang pendidikharus dapat menerapkan pendidikan yang memerdekakan anak didik, sehingga saat ini muncul konsep merdeka belajar. Pada bab keempat, mengupas tentang religiositas merupakan salah satu aspek insani berupa getar hati dan kualitas manusia yang mendorong bertumbuhnya sikap atau kecenderungan hidup yang bernilai. Religiositas merupakan hal yang mendasar atau esensial dalam hidup manusia. Dalam pengertian lain, religiositas merupakan daya-daya insani yang bersifat batiniah yang ada di dalam kedalaman hati. Religiositas merupakan “ibu dari cinta kepada kebenaran, kesukaan pada gejala yang wajar, sederhana, jujur dan sejati”. Religiositas merupakan inti dan daya agama. Bisa diumpamakan kalau agama adalah bunga yang indah, religiositas merupakan sari bunga yang terletak di dalam jantung bunga itu. Agama atau religion (Latin: religio, re-legere) merupakan model kehidupan yang ditandai oleh ikatan atau keterhubungan praksis kehidupan doa-ritual, komunitas persaudaraan, dan tindakan amal kasih. Dengan demikian, religiositas dan agama (religion) merupakan dua sisi dari model kehidupan yang menyatukan aspek empiris dan meta empiris atau menyatukan dua sisi insani, yakni sisi jasmaniah dan rohaniah. Ketika agama tidak didasari oleh kualitas batin atau religiositas, ia kehilangan daya dan akan menjadi sekedar kegiatan sosial-politik tanpa visi kemanusiaan yang utuh. Sementara religiositas tanpa agama akan menjadi gerakan karismatik yang tidak bisa dijamin kelestarian dan keberlanjutannya. Pada bab kelima, mengupas tentang agama kaitannya dengan etos kerja, maka persoalannya adalah agama dalam tahap penghayatan yang mana. Hal ini disebabkan karena etos kerja berkaitan langsung dengan usaha manusia mengatasi dan meningkatkan kehidupan produktivitas yang bersifat sosial ekonomis. Untuk meningkatkan produktivitas ekonomis yang berdimensi humanitas, diperlukan etos kerja yang bersumber pada penghayatan agama yang lebih antroposentris dengan memberikan peran lebih besar dan “bebas” kepada manusia untuk mengembangkan kreativitasnya secara optimal. Pendekatan antroposentris dalam agama dimungkinkan, karena agama pada hakikatnya untuk manusia dan untuk memperkokoh kemanusiaan. Manusia membutuhkan agama untuk mengenal dan memasuki dimensi gaib yang telah menjadi bagian bawaan kodratnya, dan hanya agamalah yang dapat mengantarkan manusia berkenalan dan bahkan hidup dalam kegaiban. Agama sama sekali bukan dan tidak untuk Tuhan, karena Tuhan sama sekali tidak memerlukan dan membutuhkan apapun, apalagi agama. Etos suatu bangsa menurut Clifford Geertz (1974) adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan mereka, moral dan gaya estetis dan suasana-suasana hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikandalam kehidupan. Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar dalam kerja. Sebagai sikap hidup yang mendasar, suatu etos pada dasarnya merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai luhur yang transenden. Dalam kaitan bahasan di atas, maka agama bagi pemeluknya merupakan sistem nilai yang mendasari suatu etos kerjanya. Kerja seyogyanya diletakkan sebagai realisasi dari ajaran agamanya. Telah banyak dilakukan studi-studi mengenai hubungan antara etos kerja dengan agama. Hampir semua agama mengajarkan kepada manusia untuk memberikan sedekah dan menyantuni yang membutuhkan, mendorong pemeluknya untuk giat bekerja mendapatkan rezeki dan berkah dari Tuhannya, bahkan dalam Islam, dikenal anjuran Nabi Muhammad SAW yang menegaskan bahwa tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah, artinya memberi lebih mulia dari pada meminta, dan untuk dapat memberi tentu seseorang harus mempunyai kelebihan untuk dapat diberikan kepada sesamanya yang kekurangan. Dan untuk dapat memberi, diperlukan tidak saja ia selayaknya berkecukupan secara material, tetapi juga kedalaman spiritual sehingga memberi merupakan panggilan sosial keagamaan. Fenomena kemiskinan, kesengsaraan dan penderitaan dalam kehidupan manusia, pada dasarnya banyak berkaitan dengan problematika ketimpangan dalam realitas hidup manusia sendiri. Pada bab keenam, mengupas tentang politik dan kemanusiaan, politik selalu dicitrakan sebagai barang kotor. Soe Hok Gie mengatakan, politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tapi, suatu saat ketika tidak dapat menghindari, maka terjunlah. Kondisi panggung politik di mana saja selalu menyuguhkan akrobat yang sangat berbahaya, membuat para penonton tegang bahkan tak mau lagi menonton pertunjukan tersebut, apalagi terlibat sebagai aktor. Sebagai contoh dapat kita lihat di media sosial begitu mudahnya mengkafirkan, menyalahkan, menuduh sesat, bahkan menyebar kabar hoaks sudah menjadi kebiasaan. Jika melihat fenomena di atas, politik sangat jauh dari rasa kemanusiaan. Kita dapat melihat fenomena di mana manusia memakan saudaranya sendiri. Padahal seharusnya politik merupakan alat untuk mengabdi pada kemanusiaan, bukan menghamba pada kekuasaan. Meminjam pendapat Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan malah memperkeruh suasana. Namun, kita tidak perlu risau dengan politik dan menjadi apolitis. Karena beberapa pemimpin dunia seperti Gandhi dari India dan Nelson Mandela dari Afrika Selatan dapat mengubah wajah bengis politik menjadi manis. Bahwa politik tidak sepenuhnya kotor, politik tidak sepenuhnya jahat, dan politik juga dapat memanusiakan manusiaPada bab ketujuh, mengupas tentang kepemimpinan dan nasionalisme, di Indonesia sendiri kita mengenal sosok KH. Abdurrahman Wahid dengan sapaan akrab Gus Dur. Gus Dur merupakan politisi ulung, kiprahnya tidak dapat diragukan lagi terutama sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Gus Dur turut serta mendirikan partai politik yang mengantarkannya hingga ke singgasana orang nomor satu di Indonesia. Selain itu Gus Dur juga dikenal sebagai bapak bangsa yang gigih dan konsisten dalam memperjuangkan kemanusiaan, membela kaum minoritas, dan menentang segala bentuk penindasan di muka bumi. Sebagai politisi yang santri rupanya ia berprinsip “kemanusiaan lebih penting daripada politik”. Walaupun sepak terjangnya tak jarang menuai kontroversi terutama di kalangan lawan-lawan politiknya. Gus Dur, Gandhi, dan Mandela merupakan contoh tokoh yang berhasil memadukan dua kutub yang dianggap berseberangan, yaitu politik dan kemanusiaan. Belajar dari mereka, seorang pemimpin yang bisa memimpin bukan perkara mudah. Jika ingin menjadi ksatria yang perkasa, mempunyai kesaktian dan tak dapat dikalahkan, harus digembleng terlebih dahulu di Kawah Candradimuka. Kawah candradimuka adalah kawah yang terdapat di alam kahyangan seperti disebutkan dalam kisah pewayangan. Kisah tersebut menggambarkan bahwa untuk menjadi pemimpin yang kuat, yang berjiwa kesatria membutuhkan proses yang lama dan berjenjang, bukan karbitan seperti kebanyakan calon pemimpin saat ini. Tidak cukup sampai di situ seorang pemimpin juga harus mempunyai komitmen yang tak tergoyahkan oleh badai apapun. Komitmen politik, visi dan misi yang jelas, dan konsistensi merupakan prasyarat penting untuk melakukan perubahan. Karena politik itu ibarat permainan bola, prediksinya bisa menang namun hasilnya kalah. Begitu pula dalam proses kepemimpinan, tujuan awalnya bisa baik tapi akhirnya bisa buruk, lagi-lagi semuanya tergantung pada komitmen sang pemimpin. Agar proses kepemimpinan berjalan dengan baik, seorang pemimpin butuh bekerja sama dengan banyak pihak atau saat ini kita kenal dengan kolaborasi. Seorang pemimpin tidak mungkin berjalan sendirian, butuh dukungan untuk mewujudkan komitmennya. Dan, itu hanya dapat dilakukan jika pemimpin tersebut mampu berkolaborasi dengan siapapun, termasuk dengan lawannya sekalipun. Pemimpin maupun calon pemimpin yang akan datang perlu belajar dan meneladani Gandhi, Mandela, dan Gus Dur bahwa kekuasaan bukan segalanya. Ada yang lebih penting daripada itu, yaitu kemanusiaan. Minimal yang harus dilakukan adalah bagaimana cara mendapatkan kekuasaan, dan memperlakukan masyarakat sebagai konstituen utama dalam berdemokrasi dengan cara yang beradab, tidak menghalalkan segala upaya. Indonesia sudah 76 tahun merdeka dengan segala dinamika sejarah yang panjang. Para pendiri bangsa telah berhasil merumuskan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Bersamadengan pemimpin bangsa dari generasi ke generasi, telah pula bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai salah satu pilar bangsa yang utama, bersama dengan UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam istilah yang lebih heroik, keempat pilar Negara ini sudah dianggap final dan harga mati, tidak ada perubahan, penggantian dan tawar menawar lagi. Setelah sekian lama merdeka, tentu Pacasila tidak perlu lagi diucapkan dalam ucapan verbal “Saya atau Aku Pancasila”. Yang lebih dibutuhkan sekarang adalah penghayatan dan pengamalan Pancasila itu sendiri secara baik, benar dan proporsional. Penghayatan dan pengamalan sangat diperlukan karena dari situlah akan mampu diukur sejauhmana ketulusan dan integritas nasionalisme seseorang warganegara, pejabat, pemimpin hingga komitmen suatu organisasi, partai, lembaga dan sebagainya. Korelasi antara nilai-nilai Pancasila dengan nasionalisme. Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh pendiri bangsa sudah tepat diposisikan sebagai sila pertama. Sebab semua bangsa Indonesia adalah makhluk beragama dan bertuhan, homo-religious dan homo-divinans, bukan atheis. Ketika agama-agama resmi belum datang, bangsa kita percaya kepada animisme dan dinamisme, dan setelah agama datang kita menganut beberapa agama yang sekarang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Semua penganut agama dipersilakan meyakini, mempercayai dengan beribadah menurut agama yang dianutnya, dengan tetap saling memelihara toleransi beragama, menghargai dan menghormati. Toleransi bukanlah mencampuradukkan semua agama (sinkretisme), melainkan kita menerima keberbedaan dalam beragama. Kita gunakan unsur persamaan dalam ajaran agama sebagai energi positif untuk membangun bangsa, dan kita jadikan perbedaan keyakinan bukan sebagai sumber konflik, melainkan sebagai mozaik yang mewarnai dan memperindah kehidupan bangsa. Kita jadikan kehidupan nasional yang solid dan bersatu tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan masing-masing. Kalau perbedaan kita jadikan sumber masalah, maka jangankan antarpenganut agama yang berbeda, sesama penganut agama pun mudah timbul konflik sosial dan perpecahan, sebagaimana sering kita rasakan selama ini. Pada bab kedelapan, banyak bicara tentang kebudayaan (culture) adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Oleh karenanya, kebudayaan selalu bertalian erat dengan kondisi sosial masyarakat beserta alam pikirannya atau pola berpikir masyarakat. Kebudayaan yang mewujud di permukaan masyarakat manusia, sebenarnya yang lebih dikenal sebagai peradaban (civilization). Acapkali istilah peradaban tersebut dipahami sebagai budaya yang lebih besar dan lebih maju, berbeda dengan budaya yang lebih kecil, yang konon primitif.Secara etimologis, kata kebudayaan itu berasal dari kata : budaya yang mengalami proses afiksasi : ke - an, sehingga menjadi kebudayaan. Kata budaya itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata buddh(i) yang dalam bentuk jamak adalah buddhayah yang bermakna : akal pikiran/pola berpikir/alam pikiran. Dengan demikian, maka kata kebudayaan mengandung makna hal ihwal tentang budaya atau hal ihwal tentang kondisi alam pikiran. Kondisi alam pikiran siapa? Sudah barang tentu adalah kondisi alam pikiran masyarakat manusia. Oleh karenanya, kata budaya ataupun kebudayaan selalu berhubungan erat dengan kata masyarakat (social, society). Sehingga pada gilirannya, berbicara tentang kebudayaan adalah selalu menyangkut tentang kondisi sosial masyarakat beserta alam pikirannya. Dan, kondisi sosial masyarakat dimaksud, yang tampak di permukaan menempati satu ruang dan waktunya, itulah peradaban. Kebudayaan dan peradaban apabila diumpamakan atau dianalogikan, adalah seperti halnya sebuah rambu-rambu lalu lintas. Rambu-rambu lalu lintas yang kita temui di jalan itulah dapat kita jadikan sebagai analogi tentang kebudayaan dan peradaban. Begitu kita menyaksikan sebuah rambu lalu lintas bergambar huruf P bergaris miring (/) merah dalam lingkaran warna hitam misalnya, maka rambu tersebut mengisyaratkan makna dilarang parkir di radius tertancapnya tanda rambu tersebut. Rambu lalu lintas itulah sebagai peradaban, isyarat maknanya adalah kebudayaan. Pada bab terakhir, banyak membicarakan hal ikhwal entrepreneur, kita akan berpikir pada seseorang yang bergelut di satu bidang bisnis dan menghadirkan inovasi yang kekinian. Entrepreneurship merupakan sebuah proses seorang entrepreneur saat mendirikan sebuah bisnis. Dalam pertumbuhan ekonomi, entrepreneurship memegang peranan yang sangat penting seperti menciptakan lapangan pekerjaan baru, mendorong perkembangan teknologi, hingga menciptakan inovasi, karena seorang entrepreneur tidak akan tinggal diam ketika dia telah mencapai sesuatu tujuan, dia akan terus berinovasi. Nah, inovasi inilah yang menjadikan entrepreneurship seakan jadi angin segar dalam industri perekonomian. Bila kita melihat ada beberapa jenis entrepreneur, yang meliputi foodpreneur, technopreneur, womenpreneur, mompreneur, sociopreneur dan ecopreneur. Kesuksesan seorang entrepreneur tak lepas dari jiwa kewirausahaannya yang tinggi, yakni selalu berpikir optimis, berpikiran terbuka, fokus pada tujuan, memiliki kemampuan problem solving yang bagus, berani mengambil risiko dan mampu menciptakan peluang bisnis. Selain memiliki ciri-ciri di atas, seorang entrepreneur juga memiliki sifat atau karakteristik khusus yang mudah dikenali. Misalnya, memiliki percaya diri yang tinggi, memiliki jiwa kepemimpinan, dan memiliki orisinalitas. en_US
dc.language.iso other en_US
dc.publisher Edulitera (Anggota IKAPI No. 211/JTI/2019) en_US
dc.subject MODERASI BERAGAMA en_US
dc.subject Islam en_US
dc.subject Kepemimpinan en_US
dc.title ISLAM DAN MODERASI BERAGAMA : Kepemimpinan Transformatif dengan Mentalitas Keteladanan en_US
dc.type Book en_US


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Kolom Pencarian


Browse

My Account