Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUUXIV/2016 terhadap Kedudukan Hukum Penyedia Jasa Angkutan Umum yang Tidak Berbadan Hukum
Abstract
Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan mengenai
kedudukan hukum Penyedia Jasa Angkutan Umum yang tidak berbadan
hukum. Pilihan tema tersebut dilatarbelakangi oleh pentingnya
pengangkutan di Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Pasal 139
ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 menyatakan bahwa penyediaan jasa
angkutan umum wajib dilaksanakan oleh badan hukum. Dengan ini, para
pengemudi angkutan online sebagai pengangkut perorangan merasa
dirugikan, dan mengajukan permohonan pengujian konstitusi kepada MK.
MK mengeluarkan putusan MK No. 78/PUU-XIV/2016 dengan amar
putusan menolak permohonan pemohon.
Berdasarkan latar belakang tersebut, karya tulis ini mengangkat
rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa pertimbangan hukum majelis
hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK Nomor 78/PUUXIV/2016? 2. Bagaimana implikasi hukum yang timbul dengan adanya
putusan MK Nomor 78/PUU-XIV/2016?
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif dengan
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan. Pengumpulan
bahan hukum melalui metode studi literatur, dengan bahan primer
sekunder, maupun tersier. Selanjutnya, bahan hukum dikaji dan dianalisis
dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk
menjawab isu hukum dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, Pertama, dasar
pertimbangan majelis hakim MK dalam putusan MK Nomor 78/PUUXIV/2016 adalah UUD 1945 dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua, implikasi hukum dari putusan MK
Nomor 78/PUU-XIV/2016 yang timbul adalah tetap berlakunya ketentuan
Pasal 139 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009, yaitu penyediaan jasa angkutan
umum hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pengangkutan selain dalam ketentuan
tersebut seharusnya ditindaklanjuti oleh pihak penegak hukum dalam UU
LLAJ sebagai pelanggaran.