Nalisa Ratio Decidendi Putusan Hakim Atas Sengketa Pemutusan Hubungan Kerja (Phk)
Abstract
Pada skripsi ini penulis menganalisa mengenai Ratio Decidendi putusan hakim
atas sengketa pemutusan hubungan kerja (PHK). Penelitian ini dilakukan karena
dilatarbelakangi bahwa di Indonesia seringkali terjadi pemutusan hubungan kerja
(PHK) dengan penyebab yang berbagai macam. Tentunya dalam melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seringkali kebijakan yang dilakukan oleh
perusahaan menimbulkan kontra terhadap para pekerja. Maka dengan demikian
sering kita temukan sengketa pemutusan hubungan kerja terselesaikan di meja
pengadilan dengan memperoleh putusan pengadilan. Dari putusan pengadilan
tersebut diharapkan mendaptkan kepastian hukum dan keadilan terhadap pihak
pekerja ataupun pengusaha. Dalam memberikan putusannya majelis hakim
tentunya akan melakuan beberapa pertimbangan-pertimbangan melalui fakta-fakta
ataupun bukti yang dihadirkan dalam persidangan guna mendapatkan putusan yang
adil terhadap keduanya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, karya tulis ini mengangkat dua rumusan
maasalah sebagai beriku : 1. Bagaimana pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) terhadap pekerja sesuai Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan? 2.Bagaimana Ratio Decidendi putusan hakim dalam sengketa
Pemutusan Hubungan kerja (PHK) dan Apa yang menjadi dasar perbedaan Ratio
decidendi dalam putusan sengketa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)? Penelitian
ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan
peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan tersier dengan teknik pengumpulan bahan hukum yang
dipergunakan melalui metode studi kepustakaan. Selanjut, bahan hukum dianalisis
dan dikaji dengan pendekatan-pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian
untuk menjawab isu hukum dalam penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, didalam Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah diatur menegani prosedur melakukan
pemutusan hubungan kerja, sebab terjadinya PHK, alasan dilarangnya melakukan
PHK ataupun mengenai kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja yang
terdampak PHK.
Kemudian dalam pertimbangannya untuk memberikan putusan terhadap
sengketa PHK yang terjadi akibat perusahaan melakkan efisiensi majelis hakim
menggunakan metode interpretasi ektensif pada pasal 164 Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Sedangakan terhadap sengketa PHK yang terjadi akibat adanya masalah pribadi majelis hakim dalam pertimbangannya menggunakan pasal 100
UU PPHI dan pasal 16 ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP 150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan
Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan.
Selanjutnya pada senngketa PHK Yang terjadi akibat pekerja melakukan mogok
kerja majelis hakim dalam pertimbangannya berpendapat bahwa aksi mogok kerja
tersebut tidak dapat dibenarkan. Diketahui perbedaan pertimbangan pada tiga
sengketa ialah yang pertama adanya perbedaan terhadap refrensi hukum yang
digunakan oleh majelis hakim, yang kedua adanya alasan sebab-sebab terjaadinya
PHK, yang ketiga adanya perbedaan terhadap perjanjian kerja dan bentuk
hubungan kerja anatara pengusaha dan pekerja, dan yang ke empat adanya
perbedaan mengenai upaya penyelesaian yang telah dilakukakan sebelum
dilimpahkannya sengketa PHK kepengadilan