Penentuan Pembelaan Terpaksa Oleh Penyidik Terhadap Korban Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Abstract
Pada skripsi dengan judul penentuan pembelaan terpaksa oleh penyidik
terhadap korban dalam tindak pidana pembunuhan dilatar belakangi oleh
kewenangan Penyidik dalam menentukan pembelaan terpaksa sesungguhnya
menjadi perosoalan khususnya mengenai kewengan dari penyidik itu sendiri.
Karena merujuk pada Putusan Mahkamah Agung No. 57 PK/PID/2013, walaupun
dalam amar putusan menyatakan Terdakwa Wihariyantono bin Kamid tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan
mengakibatkan mati dan membebaskan terdakwa. Akan tetapi ada proses hukum
yang dilakukan dan putusan pengadilan lah yang menyatakan bahhwa terdakwa
tidak bersalah/akibat kealpaan mengakibatka mati bukan Penyidik. Dengan
masalah yang diangkat mengenai apa dasar dasar kewenangan Penyidik
menentukan seseorang dalam melakukan tindakan pembelaan terpaksa dan
bagaiamana cara Penyidik menentukan pelaku pembunuhan melakukan
pembelaan terpaksa.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif atau doktrina yakni
menjelaskan data-data yang ada dengan deskriptif atau pernyataan bukan dengan
angka-angka. dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute
approach) dan yakni mengkaji Pasal 49 Ayat (2) dalam KUHP yang mengatur
pembelaan terpaksa dan pendekatan konseptual (Conceptual Aprroach) untuk
melihat konsep pembelaan terpaksan pada tindak pidana pembunehan.
Pengumpuan data dalam penelitian ini berdasarkan pada pendekatan penelitian
dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Selanjutnya data yang telah ada di kumpulakan dianalisis secara
deskriptif kualitatif yakni analisi terhadap bahan yang hanya bisa di deskriptifkan
atau tidak bisa di hitung.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pertama, merujuk pada Putusan
Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Kpn Tanggal 23
Januari 2020 dan Putusan Mahkamah Agung No. 57 PK/PID/2013, walaupun
dalam amar putusan menyatakan Terdakwa Wihariyantono bin Kamid tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan
mengakibatkan mati dan membebaskan terdakwa. Akan tetapi ada proses hukum
yang dilakukan dan putusan pengadilan lah yang menyatakan bahhwa terdakwa
tidak bersalah/akibat kealpaan mengakibatka mati bukan Penyidik. Sehingga jelas
bukan kewengan penyidik dan kewengan penyidik berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) KUHAP dan Peraturan Kepolisian Nomor 14 tahun 2012 tentang
manajemen penyidikan tindak pidana serta standar operasional pelaksanaan
penyidikan tindak pidana. Kedua, bahwa tidak ada kewenangan Penyidik maupun
Penyidik Pembantu dalam menentukan seseorang pembunuh melakukan
pembelaan terpaksa sebagaimana tugas dan wewenangnya diatur dalam Pasal 7
ayat (1) KUHAP dan Perkap No 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Tindak Pidana. Akan tetapi kewengan dalam menentukan pembelaan terpaksa
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 57 PK/PID/2013, walaupun dalam
amar putusan menyatakan Terdakwa Wihariyantono bin Kamid tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan
mengakibatkan mati dan membebaskan terdakwa. Akan tetapi ada proses hukum
yang dilakukan dan putusan pengadilan lah yang menyatakan bahhwa terdakwa
tidak bersalah/akibat kealpaan mengakibatka mati adalah wewenang pengadilan,
dan proses penentuan pembelaan terpaksa oleh pengadilan dilakukan melalui
proses pro justitia sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen
Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Kpn Tanggal 23 Januari 2020. Ketiga,
pengehentian penyidikan atas dasar pembelaan terpaksa dengan dalil karena tidak
terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut dihentikan demi hukum atau peristiwa
ternyata bukan tindak pidana adalah tidak tepat dan penghentian penyidikan
secara tidak sah. Karena pengentian penyidikan seyogyanya dapat dilihat dari dua
sudut yakni Pertama, Dari sudut yuridis formal penghentian tidak bisa dilakukan
apabila belum memenuhi ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP “Dalam hal
penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya”. Kedua, penghentian penyidikan terjadi
karena ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP dilanggar “Dalam hal hasil
penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk
dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut
umum”