Penerapan Hukuman Qanun Asasi Santri Putra Pondok Pesantren Sabilul Hasan Genggong Probolinggo
Abstract
Qonun Asasi dibuat oleh Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari, pendiri
Nahdlatul Ulama, memberikan petunjuk tentang bagaimana warga NU harus
bersatu dan bertindak ketika menghadapi berbagai masalah dan kesulitan. Qonun
Asasi mengajarkan nilai mengajak orang untuk bersatu, bersaudara, saling
mengasihi dan menyayangi. Salah satu cara untuk mengubah perilaku seseorang
yang kurang ideal atau tidak sesuai dengan syariat dan hukum-hukum yang baik
adalah melalui hukuman. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) Jenis
hukuman yang diterapkan di Pondok Pesantren Sabilul Hasan dengan undang undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak, dan (2) Pengaruh hukuman yang diterapkan
terhadap santri di Pondok Pesantren Sabilul Hasan. Metode penelitian ini
menggunakan penelitian sosiologis dengan 3 subjek penelitian yang terkait. Data
penelitian dikumpulkan melalui teknik observasi, wawancara dan dokumentasi
dengan metode pengolahan data untuk menganalisis data. Pengumpulan data
dilakukan dengan redukasi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan dari data
yang diperoleh/verifikasi.
Hasil penelitian mendapatkan hasil berupa: Pondok Pesantren Putra Sabilul
Hasan Genggong Probolinggo memberikan fasilatas kajian utama berupa pengajian
tentang akhlaq, fiqh, tasawuf, nahwu, dan tauhid. Fasilitas lainnya berupa
pembacaan atau membiasakan membaca/memimpin tahlil, istighotsah, dibaiyah
dan burdah. Kegiatan dasar para santri adalah; sholat berjama’ah, mengikuti
kegiatan pengajian, sekolah, muthola’ah dan diskusi. Peraturan yang diterapkan
meliputi: Peraturan tertulis UU pesantren atau Qunon Asasi, dan hukuman secara
tidak tertulis/kebijakan pengasuh. Sedangkan penerapan hukuman ada dua, yaitu;
Sanksi sesuai Qunon Asasi, dan Sanksi sesuai dengan kebijakan pengasuh. Pondok
Pesantren Putra Sabilul Hasan Genggong Probolinggo memiliki 3 (tiga) kategori
bentuk pelanggaran, yaitu; pelangaran ringan membaca yasin, pelanggaran sedang
membersihkan kamar mandi dan digundul, dan pelanggaran berat dipulangkan ke
orang tua masing-masing. Jenis hukuman yang diterapkan di Pondok Pesantren Sabilul Hasan sama sekali tidak ada pertentangan dengan undang-undang nomor 35
tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Dalam pasal 15 mencetuskan bahwa “Setiap Anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari: (a) penyalahgunaan dalam kegiatan politik, (b)
pelobatan dalam sengketa bersenjata, (c) Pelibatan dalam kerusuhan social, (d)
Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan, (e) Pelibatan dalam
peperangan, dan (f) Kejahatan seksual.” Serta pengaruh hukuman yang diterapkan
terhadap santri di Pondok Pesantren Sabilul Hasan hanya memberikan efek jera
kepada santri supaya lebih menjadi santri yang disiplin dan terbiasa disiplin, yaitu
tidak sampai merugikan dan menyakiti secara fisik. Dan dengan menerapkan
prinsip bahwa hukuman hanya untuk memberikan pelajaran bukan penganiyaan,
hal ini sudah dijelaskan sebelumnya terkait dengan adanya UU No. 35 tahun 2014
tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dimana
undang-undang tersebut memberikan jaminan atas perlindungan anak terhadap
semua ancaman kejahatan, termasuk adanya kekerasan. Dalam “ayat (1) Pasal 43
diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Negara,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, Orang Tua, Wali, dan
lembaga sosial menjamin Perlindungan Anak dalam memeluk agamanya. (2)
Perlindungan Anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi Anak”.
Jadi, di dalam pesantren adanya hukuman hanya untuk membimbing santri menjadi
santri yang disiplin dan berkahlakul karimah”.