dc.description.abstract | Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pelaksanaan parate
eksekusi hak tanggungan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan dan mengapa parate eksekusi hak tanggungan yang dilakukan tanpa izin
dari Pengadilan Negeri dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Adapun metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan
metode penelitian yuridis normatif, menggunakan pendekatan undang-undang dan
pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama,
pelaksanaan parate eksekusi lelang barang jaminan yang diikat dengan hak
tanggungan yang mendasarkan Pasal 1 angka 28, Pasal 44 ayat (1), (2), (3), (4) dan
Pasal 45 Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 27/PMK.06/2016 tanggal 22 Februari
2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang terhadap lelang parate eksekusi hak
tanggungan berdasarkan UU Hak Tanggungan, terdapat “perbuatan melawan hukum”
dalam menentukan nilai limit harga barang yang dilelang, jika dalam pelaksanaannya
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, parate
eksekusi hak tanggungan yang dilakukan tanpa persetujuan Pengadilan Negeri
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, hal ini mengacu pada Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3201 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986
yang menegaskan bahwa “parate eksekusi yang dilakukan tanpa meminta persetujuan
Pengadilan Negeri meski didasarkan pada Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata adalah
perbuatan melawan hukum dan lelang yang dilakukan adalah batal”. Hal ini juga
didasarkan pada SEMA Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa walaupun
kreditur telah memegang hak tanggungan, yang berarti bernilai parate eksekusi,
namun apabila kreditur akan melakukan eksekusi, harus melalui izin Ketua Pengadilan
Negeri, tidak boleh langsung ke Kantor Lelang. Apabila dilakukan langsung ke Kantor
Lelang, namun debitur tidak bersedia mengosongkan obyek lelang, maka Ketua
Pengadilan Negeri dilarang melakukan eksekusi pengosongan obyek lelang. | en_US |