Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Ekosida
Abstract
Pada skripsi ini peneliti mendeskripsikan mengenai Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Ekosida. Penelitian ini
dilatarbelakangi adanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana ekosida yang mana
terjadi Tindakan ekosida oleh manusia mengacu pada tindakan manusia seperti
aktivitas industri yang menyebabkan kerusakan besar pada lingkungan Kerusakan
lingkungan yang merugikan manusia bertentangan dengan prinsip hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Berdasarkan Latar Belakang tersebut, karya tulis ini mengangkat rumusan
masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Pertanggungjawaban pidana korporasi yang
melakukan tindak pidana ekosida ? 2. Bagaimana tata cara penanganan tindak
pidana korporasi yang melakukan tindak pidana ekosida ?. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Bahan Hukum
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan
sekunder dengan menggunakan pengumpulan bahan hukum yang digunakan
melalui metode studi kepustakaan. Selanjutnya bahan hukum dianalisis dan dikaji
dengan pendekatan-pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk
menjawab isu hukum dalam penelitian ini.
Hasil Penelitian ini. Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan
pengurus yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan
kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah
kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam
dengan pidana. Dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap suatu pelanggaran, tetapi selalu penguruslah
yang melakukan delik itu, dan oleh karenanya penguruslah yang diancam pidana
dan dipidana. Korporasi sebagai pembuat juga sebagai yang bertanggungjawab
motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri,
yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu ditetapkan pengurus saja sebagai
yang dapat dipidana ternyata tidaklah cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil
denda yang dijatuhkan kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang
diperoleh oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang
ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita oleh saingannya, justru lebih
besar dari denda yang dijatuhkan sebagai sanksi pidana. Dipidananya pengurus
tidak memberi jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.
Terkait penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan kejahatan
dibidang lingkungan hidup dan sumber daya alam memang tidak mudah karena
merupakan kejahatan sangat terorganisir, sehingga begitu sulit untuk diungkap.
UUPPLH menyebutkan larangan- larangan yang tidak boleh dilanggar oleh orang
perorangan, maupun korporasi sebagai subjek hukum lingkungan. Dalam Pasal 69
UUPPLH yang menyatakan : 1) Melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup; 2) Memasukkan B3 yang
dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; 3) Memasukkan limbah yang berasal dari luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara
Kesatuan Republik Indonesia; 4) Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; 5) Membuang limbah ke media lingkungan hidup;6)
Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; 7) Melepaskan produk
rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau izin lingkungan; 8) Melakukan pembukaan lahan dengan
cara membakar; 9) Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi
penyususn amdal; dan/atau Memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar.