Citra Laki-Laki Dalam Terjemahan Pararaton Oleh Ki J. Padmapuspita Dan Novel Ken Angrok Sang Brahmaputera Karya Damar Shashangka (Pendekatan Maskulinitas)
Abstract
Era pada abad XII merupakan titik kejayaan kerjaan Nusantara. Salah satunya kerjaan
Singhasari di Malang. Dari kisah yang telah tercatat bahwa tindakan daripada laki-laki yang
banyak menjadi pemimpin dan terlibat dalam kisah Nusantara. Laki-laki yang tidak lepas dari
kekuasaan memberikan makna dan sudut pandang bahwa merekalah pelaku sejarah. Dalam
Terjemahan Pararaton oleh Ki J. Padmapuspita dan novel pada Ken Angrok (Sang
Brahmaputra) karya Damar Shashangka citra laki-laki dan ambisi politiknya sangat
mendominasi.
Secara garis besar kitab Pararaton merupakan kitab kuno pertama yang dituliskan
pada tahun 1535 saka atau 1613 M. Pararaton ditulis dalam bahasa Jawa kuno yang kemudian
diubah ke Kawi Jawa. Bahasa Kawi merupakan jenis bahasa yang tercipta di pulau Jawa pada
zaman kerajaan Hindu-Budha di Nusantara dan diaplikasikan dalam bentuk karya tulis. Kawi
memliki arti sebagai penyair atau sastrawan. Karya sastra yang lahir dari seorang kawi
disebut sebagai kakawin. (Adha, 2020)
Maskulinitas merupakan peran gender, kedudukan, perilaku, dan bentuk konstruksi
kelelakian terhadap laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksual kemudian dibentuk
oleh kebudayaan. Menurut Damartoto dalam (Setyorini, 2019) seorang laki-laki apabila dia
tidak maskulin maka dia dianggap gagal. Para laki-laki senantiasa ditekan maskulin
(Poedjianto, 2014) ideologi maskulin kemudian melahirkan bagi setiap laki-laki untuk tampil
maskulin, tampak jantan, dan mempunyai posisi lebih tinggi dari perempuan (Juliastuti,
2000).
Walaupun banyak cara yang bisa dijalani untuk dianggap menjadi laki-laki ideal,
namun ada beberapa hal yang dianggap lebih bernilai untuk dijalani agar seorang laki-laki
dianggap sebagai laki-laki maskulin. Teori ini disebut dengan istilah hegemonic masculinity
(Cornwall, 1997) Hegemoni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "pengaruh
kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dsb suatu negara atas negara lain" (2007: 394). Atau
dalam konteks hegemoni maskulinitas, maka berarti pengaruh dominasi suatu konstruksi
maskulinitas atas bentuk maskulinitas yang lain