Pembatalan Perjanjian Secara Sepihak Akibat Force Majeur Ditinjau Dari Uu No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum dari pembatalan
perjanjian secara sepihak yang ditimbulkan karena force majeure, mengetahui dan
menganalisis perlindungan hukum bagi pekerja yang diberhentikan karena force
majeure, dan dalam kaitannya dengan Undang-undang Cipta Kerja (omnibus law).
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Karena
penelitian ini mempermasalahkan ketentuan norma yang absurd, penelitian akan
dikaji melalui metode penelitian hukum normatif sebagai prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum.
Hasil dari penelitian ini antara lain; Kesatu, Akibat hukum yang ditimbulkan
karena pembatalan perjanjian kerja secara sepihak oleh perusahaan karena force
majeure harus didasarkan atas tiga aspek yakni keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum sehingga pekerja merasa dilindungi dan diperlakukan secara adil
sesuai hak pekerja sesuai Pasal 164 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Pasal 1245 KUH Perdata. perjanjian tersebut tidak dapat
ditepati dan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak tidak dapat dihindari
maka penyelesaian tersebut harus melalui perundingan terlebih dahulu yang telah
diatur dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan pada Pasal 151 ayat 1. Kedua,
Perlindungan hukum bagi pekerja yang diberhentikan karena force majeure wajib
didasarkan pada UU No. 13 Tahun 2003 dan KUH Perdata dengan didasari atas
kesepakatan antara pekerja dan perusahaan. Perlindungan hukum terhadap pekerja
juga dapat dilakukan dengan mencatumkan klausul force majeure pada perjanjian
sebelum pekerja melakukan pekerjaannya, Perlindungan hukum harus mewujudkan
kesejahteraan pekerja. Ketiga, Perlindungan hukum terhadap hak-hak normatif
pekerja kaitannya dengan pemberlakukan Undang-undang Cipta Kerja masih
terkesan lemah dan dianggap merugikan pekerja karena kondisi force majeure saat
perjanjian dibuat. Perusahaan dapat melakukan PHK secara sepihak tanpa
peringatan atau pemberitahuan lebih awal, kehilangan hak atas upah dan hari libur,
memotong pekerjaan tanpa perundingan dengan pekerja berdasarkan pasal 154A.
Olehnya itu perlindungan hukum terhadap pekerja dalam kaitan dengan UU Cipta
Kerja harus didasarkan atas rasa keadilan dan kepastian hukum yang diarahkan
pada kesejahteraan pekerja.
Akibat hukum dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang ditimbulkan
karena force majeure didasarkan pada tiga aspek hukum peristiwa force majeure
untuk pembatalan suatu perjanjian. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenegakerjaan, yang
terdapat dalam Pasal 164 ayat (1) yang menjelaskan “Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua)
tahun, atau keadaan memaksa (force majeure), jika keputusan pemutusan hubungan
kerja ternyata tidak tercapai kesepakatan antara pekerja dan perusahaan mengenai
besarnya hak yang harus diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang undangan, maka pekerja harus dikenakan Pasal 81 yang berhak atas uang pesangon
dan uang penggantian sesuai dengan ketentuan Pasal 46, Pasal 157 A, serta hak atas
upah terus menerus selama penyelesaian masalah hubungan kerja sesuai Undang Undang Cipta Kerja No 11 Tahun 2020.