dc.description.abstract | Tanah sebagai sumber daya alam memegang peranan penting dalam
pembangunan kota palu pasca bencana likuifaksi, bencana ini menimbulkan
komplikasi permasalahan dalam hal penataan dan penemuan kembali identitas
tanah hak milik, karena hancurnya batas-batas tanah dan hilangnya bukti-bukti
atas kepemilikan tanah akibat likuifaksi. Penguasaan dan penggunan tanah belum
sepenuhnya dapat dikendalikan dan masih sering menjadi konflik penguasaan dan
penggunaan tanah serta penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan tata ruang.
Permasalahan tanah akibat likuifaksi dan tata ruang wilayah kota palu salah
satunya adalah sengketa tanah antara masyarakat dan kebijakan pemerintah, pada
umumnya menyangkut tanah akibat likuifaksi bencana alam dari pergeseran tanah
dan perencanaan tata ruang kota palu.
Metode pendekatan masalah yang di gunakan adalah yuridis empiris
dengan menggunakan sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum
sekunder, dan sumber bahan hukum tersier metode pengumpulan data dengan
menggunakan penentuan lapangan melalui wawancara dengan pihak yang terkait.
Jadi pelaksanaan dan pemanfaatan status hak atas tanah pasca bencana likuifaksi
dan rencana tata ruang wilayah kota palu harus di mulai dari pemantapan lokasi,
penetapan lokasi, sampai dengan penentuan kepemilikan hak atas tanah
masyarakat.
Ada dua rumusan masalah dalam penelitian ini: pertama, Bagaimana
Status hak atas tanah masyarakat pasca bencana akibat likuifaksi di kelurahan
petobo kota palu?, kedua, bagaimana penetapan rencana tata ruang wilayah pada
perkembangan kawasan pemukiman pasca likuifaksi di kota palu?
Adapun hasil penelitian dan pembahasan sebagai berikut: 1). Masyarakat
di kawasan yang terdampak likuifaksi (kelurahan petobo, kecamatan palu selatan,
kota palu, provinsi sulawesi tengah) sesuai dengan pergub nomor 10 tahun 2019,
bahwa masyarakat tidak dapat menuntut lagi tanahnya di kawasan terdampak
likuifaksi. Sebab, sangat jelas dalam pergub nomor 10 tahun 2019 bahwa kawasan
terdampak likuifaksi di kelurahan petobo termasuk dalam zona merah, yang dalam
hal ini dengan dipindahkan masyarakat korban bencana likuifaksi ke lokasi lebih
aman (relokasi). Maka dengan adanya relokasi tersebut, masyarakat tidak lagi
dapat menuntut hak atas tanahnya dikawasan terdampak likuifaksi, 2).
Berdasarkan pergub nomor 10 tahun 2019, mengatur mengenai penataan ruang
wilayah perlunya perubahan pemanfaatan ruang di beberapa lokasi terdampak
bencana masif, maka menjadi penting penyusunan arahan pemanfaatan ruang baru
yang dapat diterima oleh masyarakat. Disamping itu, di daerah-daerah yang tidak
terdampak bencana, maka arahan pemanfaatan ruang lama akan mengalami
perubahan minimal, atau bahkan tidak berubah sama sekali.
Kesimpulan yang bisa diambil dari penelitian ini adalah Bahwa
masyarakat di kawasan terdampak (Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan,
Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah) sesuai dengan Pergub Nomor 10 Tahun
2019, bahwa masyarkat tidak dapat lagi menuntut tanahnya di kawasan
terdampak. Sebab, sangat jelas didalam pergub Nomor 10 Tahun 2019 bahwa
kawasan terdampak (Keluarahan Petobo) termasuk dalam Zona Merah, yang
dalam hal ini dengan dipindahkannya masyarakat korban bencana dikawasan
terdampak ke lokasi yang lebih aman (relokasi). Maka, dengan adanya relokasi
tersebut, masyarakat tidak lagi dapat menuntut hak atas tanahnya dikawasan
terdampak, dan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah telah mengeluarkan
Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah No. 10 Tahun 2019 Tentang Rencana
Rehabilitasi dan Relokasi Pascabencana, yang mengatur pelaksanaan
pembangunan rumah untuk relokasi korban likuifaksi yang memiliki hak atas
tanah dan bangunan secara sah menurut hukum. Pembangunan tempat tinggal
untuk relokasi disini prinsipnya adalah pemerataan dan adil antara luas tanah dan
fisik rumah adalah sama | en_US |